Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang religius. Hal tersebut tercermin baik dalam kehidupan
bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara. Di lingkungan
masyarakat-terlihat terus meningkat kesemarakan dan kekhidmatan kegiatan
keagamaan baik dalam bentuk ritual, maupun dalam bentuk sosial keagamaan.
Semangat keagamaan tersebut, tercermin pula dalam kehidupan bernegara yang
dapat dijumpai dalam dokumen-dokumen kenegaraan tentang falsafah negara
Pancasila, UUD 1945, GBHN, dan buku Repelita serta memberi jiwa dan warna pada pidato-pidato
kenegaraan. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional semangat keagamaan tersebut
menj adi lebih kuat dengan ditetapkannya asas keimanan dan ketaqwaan terhadap
Tuhan yang Maha Esa sebagai salah satu asas pembangunan. Hal ini berarti bahwa
segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan dan
dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai
nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral dan etik pembangunan.
Pola pemerintahan
kerajaan-kerajaan tersebut diatas pada umumnya selalu memiliki dan melaksanakan
fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi pemerintahan
umum, hal ini tercermin pada gelar “Sampean Dalem Hingkang Sinuhun” sebagai
pelaksana fungsi pemerintahan umum.2. Fungsi pemimpin keagamaan tercermin pada
gelar “Sayidin Panatagama Kalifatulah.”3. Fungsi keamanan dan pertahanan,
tercermin dalam gelar raja “Senopati Hing Ngalogo.” Pada masa penjajahan
Belanda sejak abad XVI sampai pertengahan
abad XX pemerintahan Hindia Belanda juga “mengatur” pelayanan kehidupan
beragama. Tentu saja “pelayanan” keagamaan tersebut tak terlepas dari
kepentingan strategi kolonialisme Belanda.
Dr.C. Snuck Hurgronye,
seorang penasehat pemerintah Hindia Belanda dalam bukunya “Nederland en de
Islam” (Brill, Leiden 1911) menyarankan sebagai berikut:
“Sesungguhnya menurut
prinsip yang tepat, campur tangan pemerintah dalam bidang agama adalah salah,
namun jangan dilupakan bahwa dalam sistem (tata negara) Islam terdapat sejumlah
permasalahan yang tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan agama yang bagi
suatu pemerintahan yang baik, sama sekali tidak boleh lalai untuk mengaturnya.
“Pokok-pokok kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda di bidang agama adalah
sebagai berikut:
1. Bagi golongan
Nasrani dijamin hak hidup dan kedaulatan organisasi agama dan gereja, tetapi
harus ada izin bagi guru agama, pendeta dan petugas misi/zending dalam
melakukan pekerjaan di suatu daerah tertentu.2. Bagi penduduk pribumi yang
tidak memeluk agama Nasrani, semua urusan agama diserahkan pelaksanaan dan
perigawasannya kepada para raja, bupati dan kepala bumiputera lainnya.
Berdasarkan
kebijaksanaan tersebut, pelaksanaannya secara teknis dikoordinasikan oleh
beberapa instansi di pusat yaitu:
1. Soal peribadatan
umum, terutama bagi golongan Nasrani menjadi wewenang Departement van Onderwijs
en Eeredienst (Departemen Pengajaran dan Ibadah).2. Soal pengangkatan pejabat
agama penduduk pribumi, soal perkawinan, kemasjidan, haji, dan lainlain,
menjadi urusan Departement van Binnenlandsch Bestuur (Departemen Dalam
Negeri).3. Soal Mahkamah Islam Tinggi atau Hofd voor Islamietische Zaken
menjadi wewenang Departement van Justitie (Departemen Kehakiman). Pada masa penjajahan
Jepang kondisi tersebut pada dasarnya tidak berubah. Pemerintah Jepang
membentuk Shumubu, yaitu kantor agama pusat yang berfungsi sama dengan Kantoor
voor Islamietische Zaken dan mendirikan Shumuka, kantor agama karesidenan,
dengan menempatkan tokoh pergerakan Islam sebagai pemimpin kantor. Penempatan
tokoh pergerakan Islam tersebut merupakan strategi Jepang untuk menarik simpati
umat Islam agar mendukung cita-cita persemakmuran Asia Raya di bawah pimpinan
Dai Nippon.
Secara filosofis,
sosio politis dan historis agama bagi bangsa Indonesia sudah berurat dan
berakar dalam kehidupan bangsa. Itulah sebabnya para tokoh dan pemuka agama
selalu tampil sebagai pelopor pergerakan dan perjuangan kemerdekaan baik
melalui partai politik maupun sarana lainnya. Perjuangan gerakan kemerdekaan
tersebut melalui jalan yang panjang sejak jaman kolonial Belanda sampai
kalahnya Jepang pada Perang Dunia ke II. Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan
pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada masa kemerdekaan kedudukan agama menjadi
lebih kokoh dengan ditetapkannya Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara
dan UUD 1945. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang
diakui sebagai sumber dari sila-sila lainnya mencerminkan karakter bangsa
Indonesia yang sangat religius dan sekaligus memberi makna rohaniah terhadap
kemajuankemajuan yang akan dicapai. Berdirinya Departemen Agama pada 3 Januari
1946, sekitar lima bulan setelah proklamasi kemerdekaan kecuali berakar dari
sifat dasar dan karakteristik bangsa Indonesia tersebut di atas juga sekaligus
sebagai realisasi dan penjabaran ideologi Pancasila dan UUD 1945. Ketentuan juridis tentang agama tertuang dalam UUD 1945 BAB E pasal 29 tentang
Agama ayat 1, dan 2:
1. Negara berdasarkan
atas Ketuhanan Yang Maha Esa;2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.Dengan demikian agama telah menjadi bagian dari sistem
kenegaraan sebagai hasil konsensus nasional dan konvensi dalam_praktek
kenegaraan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar