Kamis, 21 November 2013

PERAN STRATEGIS PERPUSTAKAAN DI ERA GLOBAL



PERAN STRATEGIS PERPUSTAKAAN
DI ERA GLOBAL
 (Prospek dan Tantangannya sebagai Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan)*



Pendahuluan      

Ranganathan, seorang pustakawan India pernah membuat tamsil yang sangat populer sampai saat ini: ”Perpustakaan adalah jantungnya perguruan tinggi”. Tentu tamsil itu juga berlaku untuk sekolah dan lembaga pendidikan pada umumnya. Tamsil itu benar adanya, sebab perpustakaan memiliki fungsi-fungsi yang strategis dalam memompa denyut nadi kehidupan akademis di lembaga pendidikan bersangkutan. Pelaksanaan fungsi-fungsi perpustakaan yang meliputi fungsi edukasi, fungsi riset, fungsi kultural, dan fungsi rekreatif, dapat menjadi jaminan bahwa lembaga pendidikan memiliki “ruh” dan bobot tersendiri di mata stakeholders-nya. Tanpa perpustakaan bisa dipastikan suatu lembaga pendidikan/ perguruan tinggi akan kekurangan “darah” kehidupan dan akhirnya ”sekarat”. Pertanyaannya adalah, sudahkah setiap perguruan tinggi memiliki perpustakaan yang representatif? Jika sudah, masih ada lagi pertanyaan susulan: apakah perpustakaan yang ada sudah dikelola dan dimanfaatkan secara profesional?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk diajukan, karena keberadaan perpustakaan dalam lembaga pendidikan/ perguruan tinggi (PT) menjadi unsur penunjang yang sangat penting bagi tercapainya tujuan pendidikan. Tetapi fakta di kebanyakan lembaga pendidikan menunjukkan bahwa masih banyak lembaga pendidikan yang belum memiliki perpustakaan yang representatif, lebih-lebih di perguruan tinggi swasta (PTS).  Secara umum, kondisi perpustakaan di perguruan tinggi Negeri (PTN) berkembang lebih baik dibanding perpustakaan PTS. Hal tersebut bisa disebabkan berbagai faktor, antara lain, karena PTS membangun dan mengembangkan perpustakaannya secara mandiri, sedang PTN didukung sepenuhnya oleh pemerintah.  Namun demikian, tidak sedikit juga PTS yang memiliki perpustakaan jauh lebih bagus diabanding PTN. Kondisi internal di masing-masing PT juga mempengaruhi tingkat kemajuan perpustakaan PT bersangkutan. Karena itu maka kemampuan masing-masing PT dalam menyediakan sarana perpustakaan tidaklah sama. Masih terjadi kesenjangan kemampuan menyediakan sarana perpustakaan di antara PT, ada yang perpustakaannya sudah berkembang sangat bagus, tetapi tidak sedikit pula yang masih dalam taraf merintis.

Dari fakta tersebut, maka tidak berlebihan jika saya ajukan hipotesa bahwa dampak yang akan timbul dari kesenjangan sarana perpustakaan di antara PT adalah terjadinya kesenjangan informasi dan pengetahuan (information and knowledge gap) di antara peserta didik.  Akan ada kelompok peserta didik, (dalam konteks lebih luas: kelompok masyarakat), yang kecukupan sumber-sumber informasi dan ilmu pengetahuan; dan akan ada  kelompok peserta didik yang kekurangan atau miskin sumber-sumber informasi dan ilmu pengetahuan. Dampak berikutnya adalah, akan berbeda kualitas lulusan PT yang didukung sarana perpustakaan yang memadai dengan kualitas lulusan PT yang tidak didukung sarana yang sama.  Hipotesa ini memang perlu diuji kebenarannya melalui riset, dan tentu terdapat anomali yang mungkin saja terjadi, misalnya, ternyata jebolan PT ”pinggiran” lebih hebat daripada lulusan PT ’maju’.
Bagaimana kiat-kiat mengatasi kesenjangan tersebut? Inilah yang menjadi salah satu agenda penting para praktisi perpustakaan. Tulisan ini mencoba membahas makna dan peran strategis perpustakaan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, menawarkan solusi mengatasi kesenjangan informasi dan pengetahuan antar PT dengan cara  membuka kesempatan seluas-luasnya untuk sharing sumberdaya informasi dan pengetahuan antar PT melalui jaringan perpustakaan digital.

Peran Strategis Perpustakaan

Jika dilihat secara lebih luas, perpustakaan dan layanan informasi mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembangunan berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan IFLA (International Federation of Library Association and Institution) mengenai pembangunan berkelanjutan. IFLA menyatakan bahwa semua manusia  mempunyai hak pokok untuk mendapatkan lingkungan yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan. IFLA menegaskan bahwa perpustakaan dan layanan informasi menunjang pembangunan berkelanjutan dengan menjamin kebebasan akses pada informasi.
Lebih lanjut IFLA mengukuhkan bahwa perpustakaan dan komunitas informasi internasional merupakan sebuah jaringan yang menghubungkan negara-negara maju dengan negara-negara berkembang, mendukung pengembangan layanan informasi di seluruh dunia, dan memastikan layanannya menjunjung tinggi keadilan dan kualitas hidup bagi semua manusia. Perpustakaan digital juga memberikan dukungan mendasar untuk pembelajaran seumur hidup, pengambilan keputusan mandiri, dan pengembangan kebudayaan, meningkatkan pendidikan, memeliharan kebebasan intelektual dan membantu menjaga nilai-nilai demokrasi dan hak-hak sipil universal, menghormati identitas dan kerahasiaan penggunanya tanpa diskriminasi. Perpustakaan juga membantu  mengatasi kesenjangan informasi dan kesenjangan digital. Melalui sebuah jaringan, layanannya mudah tersebar sehingga semua khazanah intelektual yang merupakan produk budaya bangsa dapat tersedia sebagai referensi pendukung pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia.
Perpustakaan digital yang terdistribusi melalui jaringan internet bersifat terbuka. Siapa pun dan dari kalangan mana pun bebas memanfaatkannya baik secara individu maupun secara kelembagaan. Bagi lembaga pendidikan, hadirnya perpustakaan digital tentu merupakan alternatif yang patut disambut. Sebab membangun perpustakaan konvensional memerlukan dana yang tidak sedikit baik untuk gedung maupun pengembangan koleksinya, belum  lagi untuk biaya pengelolaan, pemeliharaan dan pelayanan. Sedangkan untuk membangun perpustakaan digital hanya diperlukan Personal Computer (PC) dengan perangkat jaringan untuk link ke internet. Secara hitungan matematis biayanya tentu lebih murah dibanding membangun perpustakaan konvensional. Lembaga pendidikan yang sudah memiliki perpustakaan konvensioanl bisa menjadikan perpustakaan digital sebagai bagian dari layanannya. Bagi individu, perpustakaan digital jelas memberikan kemudahan dan pilihan yang makin beragam tentang jenis-jenis sumber informasi yang diperlukannya. Aksesnya bisa dilakukan secara fleksibel di tempat kerja, di rumah, di warnet, atau di mana saja tanpa terikat dengan jam buka perpustakaan.
Dengan memanfaatkan jaringan perpustakaan digital diharapkan tidak ada lagi kesenjangan informasi antara mahasiswa PT ”maju” dengan mahasiswa PT ’pinggiran’, antara mahasiswa reguler dan mahasiswa ”ekskutif”. Semua kelompok masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh dan memanfaatkan informasi. Seperti diamanatkan dalam UUD 45 hasil amandemen ke-2, pasal 28F, yang menyatakan bahwa:
”Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampakian informasi dengan menggunakan saluran yang tersedia”.
           
Jika diamati bunyi pasal tersebut, tampak jelas bahwa rumusannya sarat dengan tugas-tugas kepustakawanan (librarianship). Tugas kepustakawanan yang utama adalah: mengumpulkan, mengelola, menyimpan, melestarikan, dan menyebarkan informasi dari, dan untuk masyarakat.

Jaringan Perpustakaan: Solusi Mengatasi Kesenjangan Informasi

Jaringan perpustakaan adalah suatu sistem hubungan antar perpustakaan yang diatur dan disusun menurut berbagai bentuk persetujuan, yang memungkinkan komunikasi dan pengiriman secara terus-menerus informasi bibliografis maupun informasi-informasi lainnya baik berupa bahan-bahan dokumentasi maupun ilmiah, menurut jenis dan tingkat yang telah disepakati. Jaringan ini biasanya berbentuk organisasi formal, terdiri atas dua perpustakaan atau lebih dengan tujuan yang sama, dan untuk mencapai tujuan biasanya menggunakan sarana teknologi informasi yang tersedia.
Dengan meningkatnya penggunaan teknologi informasi (TI) di perpustakaan, maka semakin memudahkan kerjasama antar perpustakaan, misalnya dengan membuat database bersama secara online, penggunaan format seragam terbacakan mesin, dll. TI menjadi salah satu infrastruktur yang dapat meningkatkan kinerja jaringan, memperbesar ruang penyimpanan informasi, mempercepat proses pengolahan sumber-sumber informasi, memperluas jangkauan persebaran informasi yang pada gilirannya  meningkatkan kualitas pelayanan kepada pemakai.
Pelayanan yang prima untuk memenuhi kebutuhan informasi pemakai menjadi tuntutan mendasar para pencari informasi dewasa ini. Kebutuhan pemakai informasi terhadap jenis-jenis informasi semakin beragam dengan tuntutan pelayanan yang lebih cepat, tepat dan bersahabat (user-friendly). Menyadari tuntutan semacam itu maka para praktisi perpustakaan banyak yang melakukan perubahan visi perpustakaannya secara mendasar, dari pasif menjadi proaktif, dari tidak tanggap menjadi responsif, dari layanan konvensional ke layanan modern dengan/melalui perpustakaan digital dan perpustakaan elektronik yang dikembangkannya. Selain karena tuntutan akan pelayanan prima tersebut, para praktisi perpustakaan juga menyadari bahwa produksi informasi dan pengetahuan terus berkembang dalam berbagai bentuk. Murdick, et.al. (1995) mensinyalir bahwa pengetahuan orang menjadi dua kali lipat setiap 5 sampai 10 tahun dan tingkat akumulasinya makin dipercepat. Apalagi dengan adanya pemanfaatan TI yang spektakuler, maka perkembangan dan persebaran pengetahuan lebih cepat lagi dari yang diperkirakan Murdick, et.al. itu. Hal ini juga menuntut kesigapan para praktisi perpustakaan dalam mengelola, menyimpan dan menyebarkan informasi. Persoalannya adalah, kemampuan para pengelola perpustakaan belum merata baik dari segi kompetensi SDM maupun sumberdaya keuangan. Sehingga masih terjadi kesenjangan yang mencolok di antara perpustakaan, ada yang “miskin” informasi di tengah banjir informasi; ada yang “kegemukan” informasi sampai-sampai sulit memilih mana informasi yang paling berguna bagi pemakainya.
Para ahli menawarkan solusi mengatasi “kesenjangan informasi” tersebut, yakni dengan jalan kerjasama antar perpustakaan baik dalam skala lokal, regional, maupun global. ICSU UNESCO Conference of Expert Electronic Publishing in Science, di Paris tanggal 19–23 Pebruari 1996 juga menyarankan agar kerjasama internasional dalam bidang pertukaran publikasi ilmiah terus dikembangkan, terutama karena pada saat ini partisipasi masyarakat di negara-negara berkembang semakin meningkat. Kehadiran perpustakaan digital menawarkan banyak kemungkinan positif bagi kerjasama perpustakaan. Format elektronik misalnya, membuat akses informasi secara universal bisa dilakukan. Namun hal tersebut membutuhkan ketersediaan software dan infrastruktur lain yang saling mendukung.
Sejalan dengan itu, Payne (1998) juga memandang pentingnya perpustakaan untuk mengembangkan model organisasi yang memungkinkan terlaksananya kerjasama yang saling menguntungkan; mengindentifikasi sumberdaya informasi yang hendak dimanfaatkan bersama serta meningkatkan sumberdaya manusia untuk mengoperasikan TI.
Melalui jaringan perpustakaan, terjadi penyatuan potensi yang dimiliki masing-masing anggota jaringan, sehingga sumber-sumber informasi yang tersebar dapat  dikelola bersama, menjadi milik bersama dan dimanfaatkan bersama. Maka kesempatan akses informasi terbuka lebih luas bagi pemakai dan pemberdayaan informasi berjalan lebih efektif. Misalnya, pengalaman Illinois Library Computer System Organization (ILCSO), melalui jaringan perpustakaan yang dikembangkannya,  para pemakai dapat memperluas akses serta menggunakan sumberdaya informasi secara efektif melalui kerjasam di antara ILCSO dan Illinois Library. ILCSO juga membuka layanan melalui ILLINET online system (IO) yang memiliki sekitar 10 juta cantuman bibliografi. Tujuan ILLINET adalah kerjasama layanan katalog; pinjam antar perpustakaan; memberikan layanan database seperti layanaa abstrak, indeks dan teks lengkap serta menghubungkan dengan layanan otomasi perpustakaan lainnya (Sloan, 1998).
Kerjasama juga mencakup kepentingan lain tergantung tujuan masing-masing organisasi jaringan. Ada kerjasama yang menekankan pengembagangan koleksi dan layan hantar dokumen. Cumming dan Mellon (1998) mencatat bentuk kerjasama dalam bidang tersebut yang dilakukan oleh Research Library Group (RLG). Kerjasama pengembangan koleksi dilakukan dengan membuka layanan bibliografi melalui saluran elektronik. Sedang layan hantar dokumen dilakukan dengan cara men-download bibliografi atau full text. Mekanisme layan hantar dokumen dilakukan melalui database Uncover Ariel, di mana dokumen tercetak di-scan dan ditransmisikan kepada pemakai dari jarak jauh, dan melalui Faxon Finder yang memberikan layanan foto copy jarak jauh menggunakan fax dan computer fiximile board.
Kopp (1998) mengidentifikasi 125 bentuk kerjasama perpustakaan yang ditemukan antara tahun 1931-1972. Sejak tahun 1960-an sudah tampak kecenderungan penting dalam otomasi perpustakaan terkait dengan pemakaian komputer untuk kegiatan pemrosesan bibliografi dan penelusuran database. Dari semua konsorsium yang diteliti, ditemukan 4 tipe umum konsorsium. Pertama, konsorsium besar, menaruh perhatian pada teknik pemrosesan data menggunakan komputer skala besar. Kedua konsorsium kecil menitik beratkan perhatiannya pada layanan pemakai. Ketiga, konsorsiumdengan tujuan terbatas, menekankan pada kerjasama mengenai subyek khusus. Keempat, konsorsium yang mengkhususkan diri pada pinjam antar perpustakaan (inter-library loan).
Dari beberapa bentuk kerjasama perpustakaan yang diteliti para ahli ditemukan bahwa TI menjadi piranti penting dalam membentuk jaringan perpustakaan sejak tahun 1960-an. Kerjasama perpustakaan dalam bentuk jaringan perpustakaan mampu melipatgandakan sumberdaya informasi, yang berarti meningkatkan kepemilikan atas medan informasi. Dengan demikian tidak ada lagi kesenjangan informasi di antara perpustakaan anggota jaringan, karena masing-masing memiliki secara bersama-sama aset sumber-sumber informasi milik jaringan. Namun, Crowford (1998) mengatakan bahwa masih banyak pimpinan lembaga pendidikan yang kurang menaruh perhatian pada otomasi perpustakaan dalam rencana program kerjasama mereka. Faktor SDM, dana, kemauan, dan dukungan pimpinan menjadi faktor-faktor yang sangat penting terwujudnya jaringan perpustakaan.

Internet dan Jaringan Perpustakaan Digital

Era keterbukaan informasi yang ditandai meluasnya penggunaan internet (interconection networking) belakangan ini menawarkan 1001 kemudahan bagi setiap orang untuk menyimpan, mengolah, dan menyajikan informasi melalui jaringan global yang disebut internet. Internet dirintis pertama kali tahun 1969 oleh Lembaga Pertahanan AS melalui proyek Advanced Research Projects Agency Network (ARPANET), kemudian dikembangkan oleh para peneliti dan akadmisi, misalnya melalui National Science Foundation (NSF) dengan jaringan utama yang disebut NSFNet  yang merupakan fasilitas terbuka untuk pendidikan dan riset.
Sampai saat ini perkembangan internet lebih spektakuler, tidak saja untuk jaringan pertahanan, pendidikan dan riset, tetapi untuk jaringan berbagai kepentingan mulai dari jaringan dakwah, bisnis sampai jaringan pornografi.  Secara umum fasilitas yang tersedia di internet selain email (surat elektronik) adalah mailing list (diskusi elektronik); newsgroup/usenet (koleksi jutaan artikel yang dikelompokkan sesuai temanya); File Transfer Protocol (FTP) untuk transfer file dari satu komputer ke komputer lain; telnet (fasilitas untuk masuk ke komputer lain dengan maksud untuk menjalankan program di komputer tersebut; chating (percakapan di internet melalui keyboard); gopher (sistem navigasi di internet  dengan menu teks yang disusun  secara hirarkis sehingga  dapat mencari data dari berbagai server gopher yang ada di internet; Conference (diskusi jarak jauh dengan menggunakan gambar, suara atau video); dan World Wide Web (WWW) yang menyediakan informasi dalam bentuk dokumen yang saling terkait. 
Dari berbagai fasilitas dan layanan tersebut menurut Chu dan Marilyn Rosenthal (1999) dalam artikelnya yang berjudul ”Search engine for the World Wide Web: A Comparative Study and Evaluation Methodology” (lihat: http://www.asis.org/annual-96/ElectronicProceedings/chu.html, fasilitas internet terbanyak  setelah email adalah WWW. Nah, bagaimana memanfaatkannya agar pengguna bisa masuk ke perpustakaan digital yang diinginkan? Jangan bingung, saat ini tersedia puluhan WWW Search Engine yang dikembangkan oleh perusahaan baik yang bersifat komersial maupun non komersial, seperti Yahoo, Lycoss, Altavista, Infoseek, Hotbot, MSN, Webcrawler, Excite, Google, dan masih banyak lagi.
Itulah fakta yang kita hadapi sehari-hari. Fakta ini mengingatkan kita kepada konsep ”global village” (desa global) yang digagas oleh Marshall McLuhan (1966), di mana bumi menjadi semakin kecil, karena jarak bisa diperpendek dan waktu bisa dipersingkat oleh teknologi. Teknologi telah menjadi perpanjangan kelima indera manusia. Perkembangan teknologi inilah yang harus kita respon di dalam merancang-bangun pengembangan perpustakaan PT, selain tentu saja, merespon tuntutan pasar yang menghendaki  layanan lebih canggih. Salah satu aksi yang paling praktis adalah membangun jaringan perpustakaan digital PT, sebagaimana saat ini telah banyak dilakukan oleh PT maju.   
Konsep perpustakaan digital muncul pada saat bersamaan dengan pemikiran tentang manajemen pengatahun (knowledge management), dan juga berkaitan dengan kemajuan pesat teknologi telematika. Konsep perpustakaan digital mengandung banyak pandangan, baik yang sudah ada sebelumnya maupun yang baru muncul. Ada pandangan yang dapat dikatakan ”minimalis” karena kesederhanaan konsepnya. Misalnya, Tucker (1999) mengatakan: ”If you have a text as a word processor file on a floppy disc or the hard disk you have the basis of the digital library.” Pernyataan ini disampaikan dalam konteks perpustakaan digital di negara-negara berkembang. Dalam pandangan minimalis seperti ini, maka keunggulan digitalisasi yang pertama disebut-sebut adalah  bentuk dan tempat yang dipakai untuk menyimpan, yang memiliki kelebihan dari segi kehematan dan keringkasan tempat, serta kemudahan dipindah-pindahkan (portability). Kedua konsep ini kemudian dikaitkan dengan kemungkinan menyediakan  informasi dalam jaringan kerjasama yang berdasarkan penghematan. Justifikasinya adalah keterbatasan sarana di negara-negara berkembang.
Istilah “digital” dan “electronic” adalah istilah-istilah yang saat ini dipakai secara luas untuk menggambarkan tentang teknologi digital oleh perpustakaan untuk memperoleh, menyimpan dan menyediakan  akses kepada informasi (Jefcoat, 1998). Perpustakaan digital berarti suatu perpustakaan dengan sumber-sumber elektronik serta layanan pengiriman informasi dalam bentuk elektronik. Perpustakaan digital mencakup pemusatan koleksi seperti database bibliografi, pendistribusian database dokumen seperti gopher dan World Wide Web (WWW), daftar diskusi para ilmuwan dan pakar, jurnal elektronik, databse online lainnya seperti forum dan bulletin boards (Covi dan Cling, 1996).
            Pandangan ini serupa dengan pandangan awal  tentang perpustakaan elektronik yang sudah berkembang sebelum perpustakaan digital menjadi populer. Salah satu proponennya, Kenneth Dowlin, menulis sebuah buku berjudul “The Electronic Library” (1984) dan menggambarkan ciri perpustakaan elektronik sebagai berikut:
  • Memakai komputer untuk mengelola sumberdaya perpustakaan;
  • Menggunakan salura elektronik untuk menghubungkan penyedia informasi dengan pengguna informasi;
  • Memanfaatkan transaksi elektronik yang dapat dilakukan dengan bantuan staf jika diminta oleh pengguna;
  • Memakai sarana elektronik untuk menyimpan, mengelola, dan menyampaikan informasi kepada pengguna.
Definisi di atas menekankan pada penggunaan alat-alat elektronik, terutama dari segi kemudahan pengelolaan. Dalam perkembangan selanjutnya, orang melihat bahwa  definisi seperti ini terlalu sempit, sehingga proyek ELINOR di Universitas De Monfort, Inggris misalnya, menambahkan definisi ini:

”A teaching, learning and study environment in which learning resources are held primarily in electronic form.”

            Kata “primarily” menandakan bahwa sebuah perpustakaan menjadi perpustakaan digital ketika mayoritas sumberdayanya ada  dalam bentuk elektronik. Kata “environment” menandakan adanya upaya untuk memperluas pengertian digital, tidak hanya menyangkut bentuk dan tempat penyimpanan, melainkan  juga keseluruhan proses pemanfaatan. Perkembangan pesat dalam TI dan telekomunikasi bahkan mendorong konsep yang sepenuhnya memisahkan bentuk digital dari bentuk lainnya, sehingga Collier mengusulkan definisi ini:

“A managed environment of multimedia materials in digital form, designed for the benefit of its users population, structured to facilitate access to list content and equipped with aids to navigation for the global network.

Definisi di atas sekaligus meragukan konsep perpustakaan hibrida (hibrid library) sebagaimana yang diusulkan oleh Oppenheimer dan Smithson (1997). Jika sebuah perpustakaan masih memiliki buku di samping bahan elektronik, menurut Collier, tidak perlu disebut perpustakaan hibrida atau perpustakaan digital, melainkan semata-mata perpustakaan. Dengan cara pandang yang sama, tidak perlu juga digunakan istilah perpustakaan maya (virttual library) karena ini hanya merujuk ke kondisi dari perpustakaan digital pada saat semua koleksi dan akses ke koleksi itu sepenuhnya terjadi dalam bentuk digital, tersebar di berbagai tempat, dan sepenuhnya dijalankan di atas jaringan telekomunikasi.
            Definisi yang diusulkan oleh Collier tergolong progresif dan sejalan dengan perkembangan dan konsep sistem informasi multimedia tersebar (distributed multimedia information systems) sebagaimana diusulkan Birmingham dan kawan-kawan (lihat: Baeza-Yates dan Ribeiro-Neto, 1999), yaitu :
            “The generic name for federal structures that provide humans both intellectual and physical to the huge and growing up worldwide networks of information encoded in multimedia digital formats.”
            Pemakaian istilah federal structures datang dari konsep temu-kembali informasi (information retrieval system) untuk  koleksi berkas digital yang tersebar. Sedangkan konsep intellectual and physical access menandai perlunya koleksi digital dilihat sebagai kesatuan sumberdaya. Kesatuan ini dimungkinkan karena TI memungkinkan format, struktur, isi maupun akses ke isi informasi itu sendiri bersatu dan terintegrasi secara transparan bagi pemakai.
            Berdasarkan potensi TI, maka konsep perpustakaan digital mengarah ke kumpulan jasa (collection of services) yang bersifat digital sebagaimana diusulkan Leiner (1998) dan diapaki dalam kelompok kerja Digital Library Metrics di Universitas Stanford, Amerika Serikat. Definisi yang kini dipakai oleh Association or Research Libraries juga menunjukkan kecenderungan ini, karena perpustakaan digital dianggap memiliki ciri-ciri berikut:
o   Bukan merupakan entitas tunggal.
o   Membutuhkan teknologi yang dapat menghubungkan berbagai sumberdaya.
o   Memungkinkan pengguna melihat perpustakaan digital dan jasa informasi yang diberikannya sebagai suatu kesatuan yang transparan.
o   Bertujuan menyediakan akses universal.
o   Tidak dibatasai pada wakil dokumen (document surrogates), tetapi juga berbagai bentuk digital yang tidak dapat diwujudkan dalam bentuk cetak.

Berbagai definisi di atas telah memperjelas konsep perpustakaan digital yang ideal, terutama yang didukung oleh teknologi informasi dan telekomunikasi. Persoalan yang kemudian muncul adalah, usaha untuk mewujudkan perpustakaan digital yang ideal itu bukanlah pekerjaan mudah. Itulah sebabanya definisi perpustakaan digital yang ideal “disembunyikan” dalam istilah yang lebih menggambarkan upaya dan evolusi, misalnya Digital Library Initiative. Dengan memakai istilah “inisiatif”, selain bermakna kemajuan dan potensi teknologi, pengembangan perpustakaan digital memerlukan juga keterlibatan dan dorongan-dorongan non-teknologis agar dapat terwujud.
            Selain itu muncul semacam kehati-hatian dalam program-program pengembangan perpustakaan digital mengingat sumberdaya yang diperlukan begitu besar, sementara dana yang sudah diinvestasikan untuk sumbersaya non-digital juga sudah sangat besar. Ada semacam kekuatiran bahwa evolusi perpustakaan digital yang sepenuhnya lepas dari perpustakaan “konvensional” justru menimbulkan jurang digital (digital divide) yang baru. Inggris, misalnya, lebih menyukai melanjutkan konsep perpustakaan elektronik mereka ketimbang Amerika Serikat yang langsung memisahkan proyek-proyek perpustakaan digital dalam inisiatif tersendiri. Sebagaimana diuraikan oleh Rusbridge (1998), terdapat perbedaan antara Electronic Library Programme (E-Lib) di Inggris dengan Digital Library Initiatives (DLI) di Amerika Serikat yang dapat diringkas dalam tabel berikut:

Tabel : Perbedaan antara E-Lib dengan DLI

Elib – Inggris
DLI – Amerika Serikat
Memakai dana yang sudah ada untuk pengembangan perpustakaan
Memakai dana segar
Terdiri dari proyek-proyek kecil, tetapi dalam jumlah yang besar
Terdiri dari proyek-proyek besar, tetapi jumlahnya sedikit (6proyek)
Berorientasi pada perpustakaan, penerbit dan pengguna
Berorientasi ke teknologi komputer, tidak secara khusus membahas aplikasi untuk perpustakaan
Yakin pada pentingnya melanjutkan perkembangan perpustakaan
Meragukan kemampuan perpustakaan
Pendekatan perubahan secara bertahap (incremental change)
Pendekatan menolak status quo

Menggunakan teknologi yang tersedia dalam bidang temu balik, DBS, dsb.
Riset tingkat tinggi untuk teknologi-teknologi baru.
Berkutat dengan akses ke citra (image) dan persoalan metadat
Berkutat dengan masalah image/video
Kurang memperhatikan persoalan koleksi (geospasial)
Sangat memperhatikan persoalan geospasial

Sumber: Pendit (2002).

            Inisiatif pengembangan perpustakaan digital di Indonesia sudah banyak dilakukan. Misalnya, jaringan perpustakaan IPTEKNET di bawah MENRISTEK yang merupakan sistem terbuka, link dengan INDOSAT. Contoh lain adalah Indonesian Digital Library Network (IndonesiaDLN), disebut-sebut merupakan pioner pengembangan perpustakaan digital di Indonesia (http://idln.itb.ac.id). IndonesiaDLN didirikan oleh Knowledge Management Researc Group (KMRG), sebuah organisasi nonstruktural di   Institut Teknologi Bandung (ITB), bersama-sama dengan pustakawan dan ahli informasi, di bawah pimpinan Ismail Fahmi. IndonesiaDLN didanai oleh International Development Research Center (IDRC) Canada, dan YLTI Indonesia. Dalam menjalankan roda organisasi, IndonesiaDLN bekerjasama dengan Perpuatakaan Pusat ITB dan Computer Network Research Group (CNRG) ITB. Data tahun 2001 (saat penelitian dilakukan), IndonesiaDLN telah memiliki 4.955 koleksi dan 4.864 anggota dari 7 negara. Selain itu, ada juga Jaringan Perpustakaan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang anggotanya terdiri dari IAIN, UIN dan STAIN seluruh Indonesia, yang menggunakan software GDL-Network (Ganesha Digital Library Network); dan juga Incu-VL (Indonesia Cristian University Virtual Library), yaitu jaringan perpustakaan maya beberapa universitas Kristen di Indonesia. Juga ada jaringan perpustakaan Pusat Layanan Disiplin Ilmu (PUSYANDI) yang terdiri dari beberapa PTN besar di bawah koordinasi UI. Model yang masih manual misalnya kerjasama perpustakaan Pondok Pesantren, namun yang terakhir ini sudah mulai merintis ke digital library.
            Sesungguhnya, di Indonesia sudah terdapat jaringan perpustakaan PT yang cukup mapan, tinggal bagaimana membangun komitmen bersama untuk meningkatkan kualitas layanan informasi dan pengetahuan dalam rangka  membangun dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap pengetahuan. Inisiatif perpustakaan digital di Indonesia, sebagian di antaranya dibangun bersamaan dengan pengembangan proyek knowledge management (KM). IndonesiaDLN misalnya, dirintis melalui KMRG (Knowledge Management Research Group). Konsep pemahaman perpustakaan digital yang dianut IndonesiaDLN adalah definisi menurut Digital Library Federation yang berbunyi:
”Digital librraies are organization that provide the resources, including the specialized staff, to select, structure, offer intellectual access to, interprete, distribute, preserve the integrity of, and ensure the persistence over time of collections of digital works so that they are readily and economically available for use by defined community or set of communities”. (Perpustakaan digital adalah organisasi yang menyediakan koleksi-koleksi digital, termasuk staf untuk mengatur dan mengelolanya sehingga dapat tersedia setiap saat dengan cepat dan ekonomis bagi komunitas penggunanya.
            Dari penjelasan di atas bisa diambil beberapa hal yang terkait dengan perpustakaan digital yaitu: (a) tersedianya koleksi digital; (b) adanya staf pengelola; (c) adanya komunitas pengguna; (d) didukung oleh teknologi informasi dan komunikasi.
            Sedang kegiatan dalam perpustakaan digital di antaranya: (a) menyediakan koleksi digital; (b) memilih dan mengumpulkan koleksi digital; (c) menstrukturkan koleksi digital; (d) membuka akses intelektual terhadap koleksi digital; (e) menginterpretasikan koleksi digital; (f) menyebarkan koleksi digital; (g) menjaga integritas koleksi digital; (h) menjamin ketersediaan koleksi digital setiap saat.

Dari berbagai ulasan tersebut dapat diambil pemahaman bahwa :
o   Perpustakaan digital adalah perpustakaan yang koleksinya terdiri dari bahan pustaka digital dan layanannya terdistribusi melalui sistem jaringan. Ia bekerja dalam frame work internet, sehingga koleksinya tidak tampak secara riil tetapi dapat diakses melalui jaringan.  Karena bangunan fisik perpustakaan senyatanya tidak ada ”in real life”, dan juga koleksinya tidak terdiri dari tumpukan buku secara fisik, tapi terdiri dari bahan pustaka dari berbagai perpustakaan yang terpisah dan dikelola di ruang virtual menggunakan komputer dan jaringan internet, maka disebut juga perpustakaan maya (virtual library).
o   Perpustakaan digital bukanlah entitas tunggal atau dapat berdiri sendiri (ada banyak elemen yang membentuk dan terkait dengan perpustakaan digital).
o   Perpustakaan digital membutuhkan teknologi untuk menghubungkan berbagai sumberdaya.
o   Perpustakaan digital menyediakan akses terhadap sumber-sumber informasi secara universal.
o   Perpustakaan digital tidak dibatasi hanya pada koleksi-koleksi digital pengganti dokumen, melainkan diperluas pada obyek-obyek yang tidak dapat direpresentasikan dan disebarkan dengan bentuk tercetak.
o   Perpustakaan digital menyediakan kesempatan akses informasi tanpa batas ruang dan waktu, ras dan golongan, sehingga mampu mengatasi kesenjangan informasi di antara kelompok masyarakat.




Teknologi untuk Menemukan Pengetahuan

Apa pun nama yang diberikan, inisiatif perpustakaan elektronik di Inggris dan perpustakaan digital di Amerika Serikat tidak terlepas dari ambisi untuk menghimpun sebanyak mungkin informasi dan pengetahuan. Keduanya menggunakan teknologi telematika sebagai salah satu unsur pendorong terbesar bagi peningkatan minat orang untuk memperoleh pengetahuan. Karena besarnya dorongan ini, beberapa proyek perpustakaan elektronik dan perpustakaan digital memfokuskan diri hanya pada pemasangan infrastruktur teknologi dengan harapan akan tercipta tiga hal:
o   Meningkatkan ruang kolaborasi virtual manakala sekumpulan orang tersebar secara fisik tetapi saling terkoneksi lewat jaringan teknologi.
o   Intensifikasi pengunaan modal intelektual (intellectual capital) karena kemampuan belajar secara cepat dan berkesinambungan menjadi faktor penentu keberhasilan.
o   Potensi untuk memanipulasi berbagai bentuk data dan informasi.

Pengembangan infrastruktur telematika dalam rangka membangun perpustakaan digital ini medorong rekayasa pengetahuan sebagai proses dan metodologi yang terdiri dari 3 komponen besar (Kim dan Kim, 1999), yaitu :
o   Data warehousing, yaitu merupakan upaya konsolidasi data dari berbagai sumber menjadi satu kelompok ”gudang data” (data warehouse). Komponennya adalah: (a) data extraction, mengambil data yang diperlukan dari sumber penyimpanannya; (b) data profiling, secara otomatis menentukan skema data; (c) data cleansing, yaitu memperbaiki data yang rusak, hilang, dan juga konversi data; (d) data transformation, yaitu konversi dan restrukturisasi  data; dan (e) data loading, yaitu memasukkan data yang sudah dibersihkan  ke database RDB atau file-file.
o   Decision support dan online analitycal processing (OLAP) yang mengijinkan pemakai melakkan pencarian di database sambil melakukan analisis yang rumit terhadap data dari berbagai perspektif secara langsung (online).
o   Data mining, atau penemuan pengetahuan secara otomatis dari data. Dalam prosesnya mencakup pula beberapa fungsi data warehousing untuk kemudian secara otomatis membentuk model data dengan menggunakan algoritme, (misalnya decision trees, market-basket analysis, memory-based reasoning).

Setelah konsep manajemen pengetahuan berkembang, industri komputer berupaya menyediakan peralatan yang lebih sesuai. Salah satu perkembangan di bidang komputasi yang mendapat perhatian besar adalah penciptaan dan penggunaan apa yang oleh O’Leary (1998) disebut sebagai ”data kualitatif”. Selain menekankan pada perlunya pengaitan dan penggunaan semacam skema atau struktur logika terhadap sekumpulan data, teknologi pengetahuan kualitatif ini juga memanfaatkan berbagai teknologi komunikasi. Perkembangan perpustakaan digital tidak lepas dari perkembangan ini, terutama ketika dikaitkan dengan upaya menemukan kembali koleksi digital.
            Sebenarnya dapat kita sadari bahwa konsep-konsep data mining mengandung pula kritik terhadap pendekatan yang terlalu mengandalkan ketersediaan data dalam jumlah besar. Konsentrasi yang terlalu besar pada sekumpulan data  sebanyak-banyaknya telah melahirkan berbagai persoalan, terutama karena ketersediaan data tidak selalu berkaitan dengan kemampuan pemanfatannya untuk pengambilan keputusan. Perkembangan pesat teknologi informasi, dalam memory maupun storage, menawarkan potensi untuk, tidak hanya menghimpun data dalam jumlah besar tetapi juga membantu pemakai untuk menemukan kaitan logika antar sejumlah besar data. Dengan kata lain, teknologi informasi menawarkan kemudahan ”menemukan pengetahuan di antara rimba raya data”.
            Para akademisi telah menemukan istilah untuk hal di atas, yaitu knowledge discovery in database (KDD). Bagi para peneliti, KDD sudah merupakan sebuah disiplin  yang sedang berkembang pesat dengan memanfaatkan teori-teori dari artificial intelligent, matematik dan statistik. Norton (1999) menggambarkan KDD sebagai kajian tentang penciptaan pengetahuan, proses, algoritma dan mekanisme untuk memanfaatkan potensi penemuan-kembali pengetahuan. Bagian penting dari KDD adalah identifikasi pola atau kecenderungan transformasi mulai dari metadata sampai tingkatan semantik. Proses ini bisa digambarkan sebagai hubungan antar entitas yang rumit dan kait-mengait. Tujuan akhir dari penyelidikan KDD adalah penemuan pengetahuan yang dapat digunakan untuk kegiatan tertentu, bukan sekedar mengumpulkan data untuk keperluan yang terlalu umum. Dengan kata lain, kita perlu memberi prioritas yang sama pentingnya kepada upaya kepastian tentang ”untuk apa kita mengumpulkan data?”, dan tidak hanya mementingkan upaya mengumpulkan data sebesar-besarnya dengan bantuan teknologi.
            Dengan demikian, KDD meliputi semua proses, terautomasi maupun tidak, yang memperkuat atau memungkinkan eksplorasi koleksi digital, besar atau kecil, untuk mengekstraksi pengetahuan yang potensial. Jika kita melihat KDD sebagai proses yang utuh, maka jelaslah bahwa mencari pengetahuan di sekumpulan data melibatkan kegiatan intelektual dan teknologis, bukan hanya mengaduk-aduk data. Prinsip dasar KDD adalah:
1.      Pengetahuan tertanam (embeded) di dalam kebutuhan informasi pemakai, bukan berada di dalam mesin. Artinya, sebuah sistem berbantuan teknologi tidak dapat menyediakan pengetahuan, kecuali sistem tersebut dilengkapi pemahaman tentang kebutuhan pemakai sistem.
2.      menemukan adanya pola hubungan antar data tidak sama dengan menemukan informasi, sebab hubungan tersebut harus diperluas ke hubungan dengan kebutuhan pemakai.
3.      Hasil setiap temuan pencarian harus diletakkan dalam konteks pencarian itu sendiri, kaena yang mendorong seseorang untuk mencari informasi adalah berbagai situasi dan kebutuhan di sekitar orang itu.
4.      banyak aspek dalam KDD bersifat dinamis dan interaktif, bukan sesuatu yang linear (garis lurus) dari permintaan ke pencarian ke penemuan. Di setiap tahap dapat terjadi peroses yang dinamis. Misalnya sebuah kebutuhan informasi, terbentuk tidak saja oleh keperluan yang dirasakan pada satu saat, tetapi mungkin juga pada saat seseorang/pemakai memulai sebuah pencarian di pangkalan data dengan kebutuhan yang sudah pas dan tak dapat ditawar-tawar lagi. Sistem informasi yang baik akan ikut merumuskan kebutuhan pemakai secara lebih baik. Inilah yang memerlukan proses dinamis-interaktif.

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, maka yang diperlukan bukan hanya teknologi penyimpan data dan kompilasi koleksi digital. Kita memerlukan pula teknologi yang mampu membantu pemakai membentuk kaitan-kaitan semantik, membangun pemahaman terhadap sekumpulan data, dan melihat kaitan serta pemahaman ini dalam konteks yang lebih luas. Itulah sebabnya ketika teknologi jaringan dan telekomunikasi semakin maju, maka boleh dikatakan bahwa teknologi pengelolaan pengetahuan mengalami pertumbuhan sangat dinamik. Seperti dikatakan Joblonski, Horn dan Schlundt (2001), teknologi untuk manajemen pengetahuan kini berdiri di atas tiga kaki, yaitu :
  1. Intelegensi buatan (artificial intelligence) yang membantu mengekstraksi informasi  dari berbagai sumber untuk disimpan di knolwledge base. Sebuah knowledge base memiliki format yang dapat ditelusur dan diakses sesuai keperluan pemakai. Pendekatannya berdasarkan asumsi bahwa knowledge base dapat dipisahkan  dari knowledge carriers. Artinya, sekumpulan data di dalam sebuah alat penyimpan harus dapat dilihat sebagai potensi untuk menciptakan kaitan antara berbagai data. Bukan hanya ”gudang data”.
  2. Manajemen dokumen (document management) untuk menyimpan dan mengelola berbagai tipe dokumen dalam satu pusat. Pemanfaatannya adalah melalui metadata. Dokumen tidak lagi dapat diartikan secara amat sempit sebagai barang cetakan berbagai kertas. Dokumen elektronik dan digital memiliki berbagai karakter yang berbeda. Tuntutan pembuatan metadata menjadi semakin besar karena kita melihat bahwa pola pengindeksan dokumen berbasis kertas tidak lagi memadai.
  3. Teknologi jaringan komputer dan hypertext yang memungkinkan berbagai dokumen dihubugkan, sedang pencariannya didukung oleh search engine.

Dari segi teknologi, maka perpustakaan digital dan pengelolaan pengetahuan sangat berkaitan dan berkepentingan dengan perkembangan-perkembangan dalam penelitian maupun pengembangan KDD. Terlebih-lebih dengan adanya teknologi internet, muncul potensi untuk mengeksploitasi segala kemungkinan yang ditawarkan teknologi, misalnya dalam bentuk pengembangan intranet dan ekstranet untuk sebuah jaringan inter atau antar PT dalam lingkup lokal, nasional, regional, maupun internasional. Jaringan perpustakaan digital PT dengan memanfaatkan teknologi informasi yang ada mampu menghapuskan kesenjangan digital dan kesenjangan pengetahuan antar PT.

Kupustakawanan dan Knowledge Management

Istilah kepustakwanan merupakan terjemahan langsung dari librarianship. Akhiran ”ship” dalam kata ini mengungkapkan pengertian ”kondisi, lembaga, atau profesi, sehingga secara umum kepustakawanan diartikan sebagai ”institusi, tugas, atau profesi yang dijalankan pustakawan” (Gates, 1963, 3). Batasan ini diharap dapat menjelaskan makna kata kepustakawanan, sehingga orang tidak ragu-ragu dalam menetapkan sebuah istilah untuk menggambarkan kegiatan di bidang perpustakaan, apakah ”kepustakawanan, ilmu perpustakaan, jasa perpustakaan, atau ilmu informasi, dan apakah ada perbedaan di antara semua itu”? (Narayana, 1991).
Pembahasan kepustakawanan juga kemudian menunjukkan bahwa bidang yang mereka bicarakan mempunyai konotasi langsung ke sebuah lembaga yang secara historis berkembang dari keberadaan dan kepedulian orang pada buku. Buckland (1983), misalnya, mengatakan bahwa kepustakawanan dibangun dari pengetahuan inti mengenai pengindeksan sebagai upaya simpan dan temu kembali buku, pengetahuan tentang hubungan antara buku dengan pengarangnya, buku dengan buku lain, dan buku dengan pemakainya. Apa yang selama ini diurus perpustakaan adalah buku (dalam arti luas) dan kegiatan membaca. Buku adalah rekaman pengetahuan (record of knowledge) dalam pengertian yang sangat luas dan yang termasuk dalam kategori ”isi budaya” sebagaimana yang dimaksud oleh Raymond Williams (dalam Kuntowijoyo, 1987). Isi budaya adalah segala yang dihasilkan suatu sistem budaya, dan oleh karena itu rekaman pengetahuan termasuk di dalamnya.
Nitecki (1995) menggali lebih jauh lagi, mencoba menemukan akar-akar filosofis dari kepustakawanan Anglo-Saxon (terutama Amerika Serikat) dan menemukannya pada beberapa prinsip hidup atau pandangan, yaitu pandangan liberal progresif abad XIX, pragmatis-empiris, pendekatan perilaku, dan humanisme. Kepustakawanan Anglo-Saxon dan AS percaya kepada nilai-nilai  tentang kemampuan individu (sef mastery, self fulfillment) dan supremasi personalitas individu, selain mempercayai bahwa segalanya  bersifat relatif bergantung  kepada masyarakat di mana ia tumbuh. Kepustakwanan juga humanis karena manusia dianggap sumber inspirasi; dan ilmu pengetahuan adalah sarana kemajuan.
Sedangkan knowledge management  (KM) oleh para ahli didefinisikan dalam berbagai perspektif, salah satu definisi dikemukakan Gartner Group’s: ”KM adalah suatu disiplin yang menawarkan suatu pendekatan terpadu untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, mengevaluasi, menemukan kembali dan memenfaatkan bersama (sharing) aset-aset informasi badan korporasi. Aset-aset tersebut mencakup database, dokumen, prosedur, keahlian serta pengalaman”. (Srikantaiah, 2000, 3).  Menurut Wenig (1996), ”KM terdiri atas aktivitas organisasi untuk memperoleh pengetahuan dari pengalaman organisasi, kebijakan dan dari pengalaman satu sama lain untuk mencapai tujuan organisasi. Aktivitas tersebut dilakukan melalui perpaduan teknologi dan strategi berbasis kognisi (cognitive-based strategies) untuk mendapatkan pengetahuan dan menciptakan pengetahuan baru dengan cara meningkatkan sistem kognisi (organisasi, manusia, komputer, atau gabungan manusia dan sistem komputer) dalam penyimpanan dan pemanfaatan pengetahuan  untuk belajar, memecahkan masalah dan mengambil keputusan”.
Dari berbagai pendapat para ahli yang telah dipelajari, Abdul Main (2001, 17) menyimpulkan bahwa KM menekankan pada: (a) adanya usaha yang serius untuk meningkatkan sistem kognisi (organisasi, manusia, komputer, atau gabungan manusia dan sistem komputer); (b) adanya aset-aset pengetahuan yang dikelola, yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi, individu atau kelompok; (c) adanya proses pengadaan, pengelolaan, penyimpanan, dan penggunaan pengetahuan tersebut untuk mencapai tujuan tertentu; (d) adanya penyebaran pengetauan dan pengalaman baik melalui akses langsung ke database mapun melalui sharing  dan kolaborasi ke lingkungan internal dan eksternal organisasi; (e) adanya kreativitas dan inovasi penciptaan pengetahuan  baru secara terus-menerus.
Pada umumnya, suatu organisasi menerapkan KM karena empat alasan: (a) untuk meningkatkan kolaborasi; (b) untuk meningkatkan produktivitas; (c) memungkinkan dan mendorong inovasi; dan (d) untuk mengatasi membludaknya informasi dengan cara meyebarkannya.
Dengan melihat hakekat KM tersebut, menunjukkan tidak terpisahkannya antara kepustakawanan dengan pengetahuan, sehingga sangatlah sulit mengabaikan  spekulasi bahwa KM dan pepustakaan digital (digital library) adalah bagian dari kepustakawanan juga. Pada saat yang sama tidaklah dapat dipungkiri bahwa pembahasan tentang knowledge management dan digital  library jarang merujuk ke kepustakawanan. Mengapa demikian? Salah satu kemungkinan jawabannya adalah, karena kepustakawanan kurang mengandalkan dan memanfaatkan teknologi telematika, padahal konsep knowledge management dan digital library sarat oleh pemikiran mengenai potensi teknologi itu. Turillo, seperti dikutip Hildebrand (1999), misalnya mengatakan bahwa, knowedge management tidak bisa berjalan tanpa teknologi informasi, demikian juga digital library, jelas-jelas berjalan di atas frame work internet.
Dari pendapat Turillo tersebut terlihat bahwa perkembangan perpustakaan modern, digital library,  dan juga KM tidaklah bisa dipisahkan dari teknologi informasi. Namun dunia kepustakawanan belum sepenuhnya mampu merespon perkembangan itu. Manurut Pendit (2002), karena masih ada pandangan pustakawan yang memisahkan ”isi” dari ”wadah”. Dalam pandangan pustakawan, tugas mereka adalah mengelola isi, sementara teknologi informasi lebih merupakan wadah. Kurang ada apresiasi terhadap kenyataan bahwa perkembangan teknologi  memungkinkan  kita mengelola keduanya secara saling melengkapi. Bukankah Marshall McLuhan (1966) pernah mengatakan bahwa ”the medium is the message”? (medium itu adalah pesan juga). Sampai sekarang pustakawan lebih senang menganggap diri mereka  adalah content manager dan mengasumsikan bahwa isi dapat begitu saja dipisahkan dari wadahnya. Sebaliknya, kecenderungan perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan sangat sulitnya memisahkan isi dari wadah.
Dalam mainstream perpustakaan konvensional saja, sulit memisahkan isi intlektual  suatu buku dari bukunya itu sendiri (format buku: tercetak adalah media perekam pengetahuan; demikian juga casset dan CD-ROM juga merupakan media perekam pengatahuan yang tidak mungkin bisa dipisahkan dari isinya). Dalam mainstrem perpustakaan modern (digital library), media penyimpan pengetahuan tersebut berupa teknologi jaringan. Mungkinkah kita bisa mengabaikan teknologi jaringan ketika kita ingin  membaca atau menggali pengetahuan dari sumber-sumber digital? Maka tidaklah dapat dikatakan bahwa ”isi” terpisah dari ”wadah”. Karena antara isi dan wadah itu menyatu sebagaimana nilai intrinsik dan ekstrinsik suatu mata uang.
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kepustakwanan memang memiliki ciri-ciri yang tidak sepenuhnya cocok dengan perkembangan konsep KM dan digital ibrary. Namun demikian, secara umum memiliki banyak kesamaan: (a) dari content yang dikelola, baik perpustakaan konvensional, perpustakaan digital maupun KM, sama-sama mengelola pengetahuan dengan tugas utama memilih, mengelola, menyimpan dan menyebarkan pengetahuan.; (b) dari segi filosofi keilmuan, baik digital library maupun KM sama-sama menggunakan landasan ilmu perpustakaan yang dasar-dasar epistemologi, ontologi, maupun aksiologinya telah mapan. Namun untuk digital library banyak berhubungan dengan teknologi telematika; sedang KM salain berhubungan dengan telematika  juga berhubungan dengan ilmu manajemen.  
Dengan demikian, perpustakaan digital dan KM hendaknya menjadi bagian dari perkembangan kepustakawanan.  Artinya, pustakawan di era global hendaknya mampu mengadopsi konsep digital library maupun KM yang berkembang pesat itu. Tidak hanya menjadikannya sparing partner, seperti dikatakan oleh Pendit (2002). Bagaimana caranya? Menurut Ryske dan Sebastian (2000, 365-388), untuk mampu mengadopsi konsep perpustakaan digital dan KM ke dalam kepustakawanan, maka pustakawan harus berani merubah visi perpustakaannya: ”(a) From cost center to value added center; (b) From offering to service to meeting the need of customer; (c) From information provider to knowledge partner.”
Dengan visi baru itu, perpustakaan hendaknya: (a) Berorientasi pada pemakai, perpustakaan sedapat mungkin dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pemakai (b) Partisipatif dan interakti, karena potensi pemakai sebagai pencipta dan penyebar pengetahuan, maka perpustakaan harus menyediakan fasilitas yang dibutuhkan mereka. Dengan fasilitas yang memadai, pemakai dapat mempublikasikan pemikiran dan karyanya ke sistem digital, dan orang lain dapat mengkritik dan memberi masukan, misalnya melalui fasilitas electronic publishing, milis, videoconferencing, vasilitas untuk me-review karya orang lain, dsb. (c) Bersikap proaktif, dengan bantuan aktif pemakai, sistem harus dapat memberi tahu orang yang membutuhkan setiap informasi yang masuk ke perpustakaan secara cepat dan otomatis. Hal ini dapat dilakukan melalui email, an automatic and intelligence Current Awareness Services,  milis, dsb. Sistem yang demikian itu dapat meningkatkan apresiasi pemakai terhadap pengetahuan, sehingga peran perpustakaan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan akan berjalan  maksimal.[]



Daftar Pustaka

Abdul Main ‘Pendekatan knowledge management dalam pengelolaan modal intelektual perguruan tinggi’. Jurnal El-Ijtima’, IAIN Sunan Ampel. Vol. 1 No. 2, 2003.
-------, ”Jaringan perpustakaan perguruan tinggi : atlernatif atasi kesenjangan informasi antar kampus”. Librisa, Vol. 1 No.1, 2003, hal. 5-14.
-------, “Pendekatan knowledge management dalam pengelolaan dan pemanfaatan modal pengetahuan di perpustakaan digital: Studi kasus di Indonesian Digital Library Network.” (Tesis Pascasarja UI), Bidang Ilmu Budaya Program Pascasarjana, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
-------, Knowledge management; Konsep dan aplikasinya di perpustakaan. Jurnal Al-Maktabah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
-------, ‘Teknologi informasi dalam sistem jaringan perpustakaan perguruan tinggi’. Jurnal IAIN Sunan Ampel, Edisi Desember 1998-Februari 1999, hal 34-42.
Buckland, Michael K.
-------, Library services in theory and context, 2nd, Oxford : Pergamon Pers, 1983.
Covi, Lisa dan Kling, R. ”Organization dimensions of effective digital library use: closed rational and open natural systems models”. Journal of  the American Society forr Information Science”, Vol. 47 (9), hal. 672-689.
Chu dan Marilyn Rosenthal  Search engine for the World Wide Web: A Comparative Study and Evaluation Methodology” (1999). Diturunan dari: http://www.asis.org/annual-96/ElectronicProceedings/chu.html
Cumming, Anthony M. dan Mellon, Andrew W. “University librraies and schoolarly communication: a study prepared for the Andrew W. Mellon Foundation”. [s.l.], [s.n.], 1998.
Dwiyanto, Arif Rifai. Jaringan perpustakaan digital Indonesia. Makalah Kongres IX dan Seminar Ilmiah Ikatan Pustakawan Indonesia, 2002.
Gates, Jean Key, Introduction to librarianship. New York : McGraw-Hill, 1968.
Hildebrand, Carol, “Does KM = IT?-Intellectual Capitalism”, Enterprise Magazine. Septembwysiwyg://content.186/.Diturunkan dari:
http://www.cio.c…hive.enterprise /091599_ic_content.html.  
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (hasil amandemen kedua).
International Federation of Library Association and Institutions (IFLA). “Statement on Libraries and Information Sustainable Development”. Glasgow, 2002.
ICSU_UNESCO Coference of Experts on Electronic Publishing in Science. Paris, 19-23 Pebruari 1996.
Jefcoat, Graham. “Priorities for digital library research: a view from the British Library Research and Innovation Center”. Diturunkan dari: http://www.ukoln.ac.uk/services/bl/blri078/paper57.html
Kim, Wong and Myung Kim. “Performance and Scalability in Knowledge Engineering: Issues and Solution”. The Journal of Object Oriented Programming, November-Desember 1999, hal. 39-54.
Kopp, James J. “Library cobsortia and information technology: the past, the present, the promise”. Information Technology and Library Journal, Vol. 17(1) March, 1998, hal. 13-17.
Kuntowijoyo, Budaya dan masyarakat. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987.
Malhotran, Yogesh, “From information management to knowledge management: beyond ‘Hi-Tech Hidebound’ systems”, dalam K. Srikantaiah dan M.E.D. Koenig (ed), Knowledge Management for the Information Professional (ASIS Monograph Series). Medford, New Jersey: Information Today Inc, 2000.
Murdick, Robert G., et.al. Sistem informasi untuk manajemen modern ; Penerjemah, J. Djamil. Jakarta : Erlangga, 1995.
Narayana, G.J., Librray and Information Management, New Delhi: Prentice Hall, 1991.
Nitecki, J.Z., Philosophical aspect of library information science, in Retrospect. Vol. 2 of Nitecki Trilogy. Diturunkan dari: http://www.du.edu/LIScollab/library/nitecky.   (3 Desember 2001). 
Norton, M. Jay. “Knowledge discovery in database”. Library Trends, Vol. 48, no. 1, 1999, hal. 9-21.
O’Leary, Daniel E., “Enterprise knowledge management. Comminication of IEEE, March, 1998, hal. 54-61.
Oppenheimer, Charles dan Daniel Smithson, “What is the hybrid library”, Journal of Information Science, Vol 23 (3), hal. 97-112.
Payne, Lizanne. The Washington research library consortia: a real organization for virtual library” International Tecnology and Libraries Journal, Vol. 17 (1) March, 1998, hal. 30-34.
Pendit, Putu Laxman. Knowledge management dan digital library sebagai kritik terhadap kepustakawanan (librarianship). Makalah Kongres IX dan Seminar Ilmiah Ikatan Pustakawan Indonesia, 2002.
Ryske, Ellen J. dan Sebastian T.B., “From libabry to knowledge center: the evolution of technology Infocenter”, dalam Knowledge management for the information professional. (Asis Monograph Series), ed by. T. Srikantaiah dan Michael E.D. Koenig. Metford, New Jersey: Information Today, Inc., 2000.
Tucker, Dick. “The digital libabry-Prospect for developing countries”. Makalah untuk 65th IFLA Council and General Conference Bangkok, Thailand, August 20-August 28, 1999. Lihat: http://www.ifla.org/IV/ifla65/65dt-e.htm
Toumi, Ilkka. “Data is more than knowledge: Implication of the reversed knowledge hierarchy for knowledge management and organizational memory”. Journal of Management Information Systems, Vol. 16 (3), 2000, hal. 103-117.
Wenig, R.G., “What is knowledge management?”. The Knowledge Management Forum. Diturunkan dari: http://www.3-cities.com~bonewman/what-is.htm []


* Artikel ini semula merupakan makalah yang disampikan pada Pelatihan Ketrampilan Tenaga Kepustakaan Bagi Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah VII Jawa Timur, (Surabaya, 29–31 Agustus 2007), dengan perubahan  dan penyesuaian seperlunya.

1 komentar:

  1. terlihat bahwa perkembangan perpustakaan modern, digital library sangat pesat. Artinya, pustakawan di era global hendaknya mampu mengadopsi konsep digital library maupun KM

    silahkan kunjungi = https://www.ittelkom-sby.ac.id/

    BalasHapus