PERAN
STRATEGIS PERPUSTAKAAN
DI ERA
GLOBAL
(Prospek dan Tantangannya sebagai Pusat
Pengembangan Ilmu Pengetahuan)*
Pendahuluan
Ranganathan, seorang pustakawan India pernah
membuat tamsil yang sangat populer sampai saat ini: ”Perpustakaan adalah jantungnya perguruan tinggi”.
Tentu tamsil itu juga berlaku untuk sekolah dan lembaga pendidikan pada umumnya.
Tamsil itu benar adanya, sebab perpustakaan memiliki fungsi-fungsi yang
strategis dalam memompa denyut nadi kehidupan akademis di lembaga pendidikan
bersangkutan. Pelaksanaan fungsi-fungsi perpustakaan yang meliputi fungsi
edukasi, fungsi riset, fungsi kultural, dan fungsi rekreatif, dapat menjadi
jaminan bahwa lembaga pendidikan memiliki “ruh” dan bobot tersendiri di mata stakeholders-nya. Tanpa perpustakaan
bisa dipastikan suatu lembaga pendidikan/ perguruan tinggi akan kekurangan
“darah” kehidupan dan akhirnya ”sekarat”. Pertanyaannya adalah, sudahkah setiap
perguruan tinggi memiliki perpustakaan yang representatif? Jika sudah, masih
ada lagi pertanyaan susulan: apakah perpustakaan yang ada sudah dikelola dan
dimanfaatkan secara profesional?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk
diajukan, karena keberadaan perpustakaan dalam lembaga pendidikan/ perguruan
tinggi (PT) menjadi unsur penunjang yang sangat penting bagi tercapainya tujuan
pendidikan. Tetapi fakta di kebanyakan lembaga pendidikan menunjukkan bahwa
masih banyak lembaga pendidikan yang belum memiliki perpustakaan yang
representatif, lebih-lebih di perguruan tinggi swasta (PTS). Secara umum, kondisi perpustakaan di perguruan
tinggi Negeri (PTN) berkembang lebih baik dibanding perpustakaan PTS. Hal
tersebut bisa disebabkan berbagai faktor, antara lain, karena PTS membangun dan
mengembangkan perpustakaannya secara mandiri, sedang PTN didukung sepenuhnya
oleh pemerintah. Namun demikian, tidak
sedikit juga PTS yang memiliki perpustakaan jauh lebih bagus diabanding PTN.
Kondisi internal di masing-masing PT juga mempengaruhi tingkat kemajuan
perpustakaan PT bersangkutan. Karena itu maka kemampuan masing-masing PT dalam menyediakan sarana
perpustakaan tidaklah sama. Masih terjadi kesenjangan kemampuan menyediakan
sarana perpustakaan di antara PT, ada yang perpustakaannya sudah berkembang
sangat bagus, tetapi tidak sedikit pula yang masih dalam taraf merintis.
Dari fakta tersebut, maka tidak berlebihan jika
saya ajukan hipotesa bahwa dampak yang akan timbul dari kesenjangan sarana
perpustakaan di antara PT adalah terjadinya kesenjangan informasi dan
pengetahuan (information and knowledge
gap) di antara peserta didik. Akan
ada kelompok peserta didik, (dalam konteks lebih luas: kelompok masyarakat), yang
kecukupan sumber-sumber informasi dan ilmu pengetahuan; dan akan ada kelompok peserta didik yang kekurangan atau
miskin sumber-sumber informasi dan ilmu pengetahuan. Dampak berikutnya adalah,
akan berbeda kualitas lulusan PT yang didukung sarana perpustakaan yang memadai
dengan kualitas lulusan PT yang tidak didukung sarana yang sama. Hipotesa ini memang perlu diuji kebenarannya
melalui riset, dan tentu terdapat anomali yang mungkin saja terjadi, misalnya,
ternyata jebolan PT ”pinggiran” lebih hebat daripada lulusan PT ’maju’.
Bagaimana kiat-kiat mengatasi kesenjangan
tersebut? Inilah yang menjadi salah satu agenda penting para praktisi perpustakaan.
Tulisan ini mencoba membahas
makna dan peran strategis perpustakaan sebagai pusat pengembangan ilmu
pengetahuan, menawarkan solusi mengatasi kesenjangan informasi dan pengetahuan antar
PT dengan cara membuka kesempatan
seluas-luasnya untuk sharing sumberdaya
informasi dan pengetahuan antar PT melalui jaringan perpustakaan digital.
Peran Strategis Perpustakaan
Jika dilihat secara lebih luas, perpustakaan dan
layanan informasi mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembangunan
berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan IFLA (International Federation of Library Association and Institution)
mengenai pembangunan berkelanjutan. IFLA menyatakan bahwa semua manusia mempunyai hak pokok untuk mendapatkan
lingkungan yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan. IFLA menegaskan bahwa
perpustakaan dan layanan informasi menunjang pembangunan berkelanjutan dengan
menjamin kebebasan akses pada informasi.
Lebih lanjut IFLA mengukuhkan bahwa perpustakaan
dan komunitas informasi internasional merupakan sebuah jaringan yang
menghubungkan negara-negara maju dengan negara-negara berkembang, mendukung
pengembangan layanan informasi di seluruh dunia, dan memastikan layanannya
menjunjung tinggi keadilan dan kualitas hidup bagi semua manusia. Perpustakaan
digital juga memberikan dukungan mendasar untuk pembelajaran seumur hidup,
pengambilan keputusan mandiri, dan pengembangan kebudayaan, meningkatkan
pendidikan, memeliharan kebebasan intelektual dan membantu menjaga nilai-nilai
demokrasi dan hak-hak sipil universal, menghormati identitas dan kerahasiaan
penggunanya tanpa diskriminasi. Perpustakaan juga membantu mengatasi kesenjangan informasi dan
kesenjangan digital. Melalui sebuah jaringan, layanannya mudah tersebar
sehingga semua khazanah intelektual yang merupakan produk budaya bangsa dapat
tersedia sebagai referensi pendukung pembangunan berkelanjutan untuk
kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia.
Perpustakaan digital yang terdistribusi melalui
jaringan internet bersifat terbuka. Siapa pun dan dari kalangan mana pun bebas
memanfaatkannya baik secara individu maupun secara kelembagaan. Bagi lembaga
pendidikan, hadirnya perpustakaan digital tentu merupakan alternatif yang patut
disambut. Sebab membangun perpustakaan konvensional memerlukan dana yang tidak
sedikit baik untuk gedung maupun pengembangan koleksinya, belum lagi untuk biaya pengelolaan, pemeliharaan
dan pelayanan. Sedangkan untuk membangun perpustakaan digital hanya diperlukan Personal Computer (PC) dengan perangkat jaringan untuk link ke internet. Secara hitungan matematis biayanya tentu lebih
murah dibanding membangun perpustakaan konvensional. Lembaga pendidikan yang
sudah memiliki perpustakaan konvensioanl bisa menjadikan perpustakaan digital
sebagai bagian dari layanannya. Bagi individu, perpustakaan digital jelas
memberikan kemudahan dan pilihan yang makin beragam tentang jenis-jenis sumber
informasi yang diperlukannya. Aksesnya bisa dilakukan secara fleksibel di
tempat kerja, di rumah, di warnet, atau di mana saja tanpa terikat dengan jam
buka perpustakaan.
Dengan memanfaatkan jaringan perpustakaan digital
diharapkan tidak ada lagi kesenjangan informasi antara mahasiswa PT ”maju”
dengan mahasiswa PT ’pinggiran’, antara mahasiswa reguler dan mahasiswa
”ekskutif”. Semua kelompok masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk
memperoleh dan memanfaatkan informasi. Seperti diamanatkan dalam UUD 45 hasil
amandemen ke-2, pasal 28F, yang menyatakan bahwa:
”Setiap orang berhak
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah dan menyampakian informasi dengan menggunakan saluran yang tersedia”.
Jika diamati bunyi pasal tersebut, tampak jelas
bahwa rumusannya sarat dengan tugas-tugas kepustakawanan (librarianship). Tugas
kepustakawanan yang utama adalah: mengumpulkan, mengelola, menyimpan,
melestarikan, dan menyebarkan informasi dari, dan untuk masyarakat.
Jaringan
Perpustakaan: Solusi Mengatasi Kesenjangan Informasi
Jaringan perpustakaan adalah suatu sistem hubungan
antar perpustakaan yang diatur dan disusun menurut berbagai bentuk persetujuan,
yang memungkinkan komunikasi dan pengiriman secara terus-menerus informasi
bibliografis maupun informasi-informasi lainnya baik berupa bahan-bahan
dokumentasi maupun ilmiah, menurut jenis dan tingkat yang telah disepakati.
Jaringan ini biasanya berbentuk organisasi formal, terdiri atas dua
perpustakaan atau lebih dengan tujuan yang sama, dan untuk mencapai tujuan
biasanya menggunakan sarana teknologi informasi yang tersedia.
Dengan meningkatnya penggunaan teknologi informasi
(TI) di perpustakaan, maka semakin memudahkan kerjasama antar perpustakaan,
misalnya dengan membuat database
bersama secara online, penggunaan
format seragam terbacakan mesin, dll. TI menjadi salah satu infrastruktur yang
dapat meningkatkan kinerja jaringan, memperbesar ruang penyimpanan informasi,
mempercepat proses pengolahan sumber-sumber informasi, memperluas jangkauan
persebaran informasi yang pada gilirannya meningkatkan kualitas pelayanan kepada
pemakai.
Pelayanan yang prima untuk memenuhi kebutuhan
informasi pemakai menjadi tuntutan mendasar para pencari informasi dewasa ini.
Kebutuhan pemakai informasi terhadap jenis-jenis informasi semakin beragam
dengan tuntutan pelayanan yang lebih cepat, tepat dan bersahabat (user-friendly). Menyadari tuntutan
semacam itu maka para praktisi perpustakaan banyak yang melakukan perubahan
visi perpustakaannya secara mendasar, dari pasif menjadi proaktif, dari tidak
tanggap menjadi responsif, dari layanan konvensional ke layanan modern
dengan/melalui perpustakaan digital dan perpustakaan elektronik yang
dikembangkannya. Selain karena tuntutan akan pelayanan prima tersebut, para
praktisi perpustakaan juga menyadari bahwa produksi informasi dan pengetahuan terus
berkembang dalam berbagai bentuk. Murdick, et.al. (1995) mensinyalir bahwa
pengetahuan orang menjadi dua kali lipat setiap 5 sampai 10 tahun dan tingkat
akumulasinya makin dipercepat. Apalagi dengan adanya pemanfaatan TI yang spektakuler,
maka perkembangan dan persebaran pengetahuan lebih cepat lagi dari yang
diperkirakan Murdick, et.al. itu. Hal ini juga menuntut kesigapan para praktisi
perpustakaan dalam mengelola, menyimpan dan menyebarkan informasi. Persoalannya
adalah, kemampuan para pengelola perpustakaan belum merata baik dari segi
kompetensi SDM maupun sumberdaya keuangan. Sehingga masih terjadi kesenjangan
yang mencolok di antara perpustakaan, ada yang “miskin” informasi di tengah
banjir informasi; ada yang “kegemukan” informasi sampai-sampai sulit memilih
mana informasi yang paling berguna bagi pemakainya.
Para ahli menawarkan solusi mengatasi “kesenjangan
informasi” tersebut, yakni dengan jalan kerjasama antar perpustakaan baik dalam
skala lokal, regional, maupun global. ICSU
UNESCO Conference of Expert Electronic Publishing in Science, di Paris
tanggal 19–23 Pebruari 1996 juga menyarankan agar kerjasama internasional dalam
bidang pertukaran publikasi ilmiah terus dikembangkan, terutama karena pada
saat ini partisipasi masyarakat di negara-negara berkembang semakin meningkat.
Kehadiran perpustakaan digital menawarkan banyak kemungkinan positif bagi
kerjasama perpustakaan. Format elektronik misalnya, membuat akses informasi
secara universal bisa dilakukan. Namun hal tersebut membutuhkan ketersediaan software dan infrastruktur lain yang
saling mendukung.
Sejalan dengan itu, Payne (1998) juga memandang
pentingnya perpustakaan untuk mengembangkan model organisasi yang memungkinkan
terlaksananya kerjasama yang saling menguntungkan; mengindentifikasi sumberdaya
informasi yang hendak dimanfaatkan bersama serta meningkatkan sumberdaya
manusia untuk mengoperasikan TI.
Melalui jaringan perpustakaan, terjadi penyatuan
potensi yang dimiliki masing-masing anggota jaringan, sehingga sumber-sumber
informasi yang tersebar dapat dikelola
bersama, menjadi milik bersama dan dimanfaatkan bersama. Maka kesempatan akses
informasi terbuka lebih luas bagi pemakai dan pemberdayaan informasi berjalan lebih
efektif. Misalnya, pengalaman Illinois
Library Computer System Organization (ILCSO), melalui jaringan perpustakaan
yang dikembangkannya, para pemakai dapat
memperluas akses serta menggunakan sumberdaya informasi secara efektif melalui
kerjasam di antara ILCSO dan Illinois
Library. ILCSO juga membuka layanan melalui ILLINET online system (IO) yang
memiliki sekitar 10 juta cantuman bibliografi. Tujuan ILLINET adalah kerjasama
layanan katalog; pinjam antar perpustakaan; memberikan layanan database seperti layanaa abstrak, indeks
dan teks lengkap serta menghubungkan dengan layanan otomasi perpustakaan
lainnya (Sloan, 1998).
Kerjasama juga mencakup kepentingan lain
tergantung tujuan masing-masing organisasi jaringan. Ada kerjasama yang
menekankan pengembagangan koleksi dan layan hantar dokumen. Cumming dan Mellon
(1998) mencatat bentuk kerjasama dalam bidang tersebut yang dilakukan oleh Research Library Group (RLG). Kerjasama
pengembangan koleksi dilakukan dengan membuka layanan bibliografi melalui
saluran elektronik. Sedang layan hantar dokumen dilakukan dengan cara men-download bibliografi atau full text. Mekanisme layan hantar
dokumen dilakukan melalui database Uncover
Ariel, di mana dokumen tercetak di-scan
dan ditransmisikan kepada pemakai dari jarak jauh, dan melalui Faxon Finder yang memberikan layanan
foto copy jarak jauh menggunakan fax
dan computer fiximile board.
Kopp (1998) mengidentifikasi 125 bentuk kerjasama
perpustakaan yang ditemukan antara tahun 1931-1972. Sejak tahun 1960-an sudah
tampak kecenderungan penting dalam otomasi perpustakaan terkait dengan
pemakaian komputer untuk kegiatan pemrosesan bibliografi dan penelusuran database. Dari semua konsorsium yang
diteliti, ditemukan 4 tipe umum konsorsium. Pertama, konsorsium besar, menaruh
perhatian pada teknik pemrosesan data menggunakan komputer skala besar. Kedua
konsorsium kecil menitik beratkan perhatiannya pada layanan pemakai. Ketiga,
konsorsiumdengan tujuan terbatas, menekankan pada kerjasama mengenai subyek
khusus. Keempat, konsorsium yang mengkhususkan diri pada pinjam antar perpustakaan
(inter-library loan).
Dari beberapa bentuk kerjasama perpustakaan yang
diteliti para ahli ditemukan bahwa TI menjadi piranti penting dalam membentuk
jaringan perpustakaan sejak tahun 1960-an. Kerjasama perpustakaan dalam bentuk
jaringan perpustakaan mampu melipatgandakan sumberdaya informasi, yang berarti
meningkatkan kepemilikan atas medan informasi. Dengan demikian tidak ada lagi
kesenjangan informasi di antara perpustakaan anggota jaringan, karena
masing-masing memiliki secara bersama-sama aset sumber-sumber informasi milik
jaringan. Namun, Crowford (1998) mengatakan bahwa masih banyak pimpinan lembaga
pendidikan yang kurang menaruh perhatian pada otomasi perpustakaan dalam
rencana program kerjasama mereka. Faktor SDM, dana, kemauan, dan dukungan pimpinan
menjadi faktor-faktor yang sangat penting terwujudnya jaringan perpustakaan.
Internet dan Jaringan
Perpustakaan Digital
Era keterbukaan informasi yang ditandai meluasnya penggunaan internet (interconection networking) belakangan
ini menawarkan 1001 kemudahan bagi setiap orang untuk menyimpan, mengolah, dan
menyajikan informasi melalui jaringan global yang disebut internet. Internet dirintis pertama kali tahun 1969
oleh Lembaga Pertahanan AS melalui proyek Advanced
Research Projects Agency Network (ARPANET), kemudian dikembangkan oleh para
peneliti dan akadmisi, misalnya melalui National
Science Foundation (NSF) dengan jaringan utama yang disebut NSFNet yang merupakan fasilitas terbuka untuk
pendidikan dan riset.
Sampai saat ini perkembangan internet lebih
spektakuler, tidak saja untuk jaringan pertahanan, pendidikan dan riset, tetapi
untuk jaringan berbagai kepentingan mulai dari jaringan dakwah, bisnis sampai
jaringan pornografi. Secara umum
fasilitas yang tersedia di internet selain email
(surat elektronik) adalah mailing list (diskusi
elektronik); newsgroup/usenet (koleksi
jutaan artikel yang dikelompokkan sesuai temanya); File Transfer Protocol (FTP)
untuk transfer file dari satu komputer ke komputer lain; telnet (fasilitas untuk masuk ke komputer lain dengan maksud untuk
menjalankan program di komputer tersebut; chating
(percakapan di internet melalui keyboard); gopher
(sistem navigasi di internet dengan menu
teks yang disusun secara hirarkis
sehingga dapat mencari data dari
berbagai server gopher yang ada di internet; Conference (diskusi jarak jauh dengan menggunakan gambar, suara
atau video); dan World Wide Web (WWW) yang menyediakan informasi dalam
bentuk dokumen yang saling terkait.
Dari berbagai fasilitas dan layanan tersebut
menurut Chu dan Marilyn Rosenthal (1999) dalam artikelnya yang berjudul ”Search engine for the World Wide Web: A
Comparative Study and Evaluation Methodology” (lihat: http://www.asis.org/annual-96/ElectronicProceedings/chu.html,
fasilitas internet terbanyak setelah email adalah WWW. Nah, bagaimana memanfaatkannya agar pengguna bisa masuk ke
perpustakaan digital yang diinginkan? Jangan bingung, saat ini tersedia puluhan
WWW Search Engine yang dikembangkan
oleh perusahaan baik yang bersifat komersial maupun non komersial, seperti Yahoo, Lycoss, Altavista, Infoseek, Hotbot, MSN, Webcrawler, Excite, Google,
dan masih banyak lagi.
Itulah fakta yang kita hadapi sehari-hari. Fakta
ini mengingatkan kita kepada konsep ”global
village” (desa global) yang digagas oleh Marshall McLuhan (1966), di mana
bumi menjadi semakin kecil, karena jarak bisa diperpendek dan waktu bisa
dipersingkat oleh teknologi. Teknologi telah menjadi perpanjangan kelima indera
manusia. Perkembangan teknologi inilah yang harus kita respon di dalam
merancang-bangun pengembangan perpustakaan PT, selain tentu saja, merespon
tuntutan pasar yang menghendaki layanan lebih
canggih. Salah satu aksi yang paling praktis adalah membangun jaringan
perpustakaan digital PT, sebagaimana saat ini telah banyak dilakukan oleh PT
maju.
Konsep perpustakaan digital muncul pada saat
bersamaan dengan pemikiran tentang manajemen pengatahun (knowledge management),
dan juga berkaitan dengan kemajuan pesat teknologi telematika. Konsep perpustakaan digital mengandung
banyak pandangan, baik yang sudah ada sebelumnya maupun yang baru muncul. Ada
pandangan yang dapat dikatakan ”minimalis” karena kesederhanaan konsepnya. Misalnya,
Tucker (1999) mengatakan: ”If you have a
text as a word processor file on a floppy disc or the hard disk you have the
basis of the digital library.” Pernyataan ini disampaikan dalam konteks
perpustakaan digital di negara-negara berkembang. Dalam pandangan minimalis
seperti ini, maka keunggulan digitalisasi yang pertama disebut-sebut
adalah bentuk dan tempat yang dipakai
untuk menyimpan, yang memiliki kelebihan dari segi kehematan dan keringkasan
tempat, serta kemudahan dipindah-pindahkan (portability).
Kedua konsep ini kemudian dikaitkan dengan kemungkinan menyediakan informasi dalam jaringan kerjasama yang
berdasarkan penghematan. Justifikasinya adalah keterbatasan sarana di
negara-negara berkembang.
Istilah
“digital” dan “electronic” adalah istilah-istilah yang saat ini dipakai secara
luas untuk menggambarkan tentang teknologi digital oleh perpustakaan untuk
memperoleh, menyimpan dan menyediakan
akses kepada informasi (Jefcoat, 1998). Perpustakaan digital berarti
suatu perpustakaan dengan sumber-sumber elektronik serta layanan pengiriman
informasi dalam bentuk elektronik. Perpustakaan digital mencakup pemusatan
koleksi seperti database bibliografi, pendistribusian database dokumen seperti
gopher dan World Wide Web (WWW),
daftar diskusi para ilmuwan dan pakar, jurnal elektronik, databse online
lainnya seperti forum dan bulletin boards (Covi dan Cling, 1996).
Pandangan
ini serupa dengan pandangan awal tentang
perpustakaan elektronik yang sudah berkembang sebelum perpustakaan digital
menjadi populer. Salah satu proponennya, Kenneth Dowlin, menulis sebuah buku
berjudul “The Electronic Library”
(1984) dan menggambarkan ciri perpustakaan elektronik sebagai berikut:
- Memakai komputer untuk mengelola sumberdaya perpustakaan;
- Menggunakan salura elektronik untuk menghubungkan penyedia informasi dengan pengguna informasi;
- Memanfaatkan transaksi elektronik yang dapat dilakukan dengan bantuan staf jika diminta oleh pengguna;
- Memakai sarana elektronik untuk menyimpan, mengelola, dan menyampaikan informasi kepada pengguna.
Definisi di atas menekankan pada penggunaan
alat-alat elektronik, terutama dari segi kemudahan pengelolaan. Dalam
perkembangan selanjutnya, orang melihat bahwa
definisi seperti ini terlalu sempit, sehingga proyek ELINOR di
Universitas De Monfort, Inggris misalnya, menambahkan definisi ini:
”A teaching, learning and study environment in which learning resources
are held primarily in electronic form.”
Kata
“primarily” menandakan bahwa sebuah
perpustakaan menjadi perpustakaan digital ketika mayoritas sumberdayanya
ada dalam bentuk elektronik. Kata
“environment” menandakan adanya upaya untuk memperluas pengertian digital,
tidak hanya menyangkut bentuk dan tempat penyimpanan, melainkan juga keseluruhan proses pemanfaatan.
Perkembangan pesat dalam TI dan telekomunikasi bahkan mendorong konsep yang
sepenuhnya memisahkan bentuk digital dari bentuk lainnya, sehingga Collier
mengusulkan definisi ini:
“A managed environment of multimedia materials in digital form,
designed for the benefit of its users population, structured to facilitate
access to list content and equipped with aids to navigation for the global
network.
Definisi di
atas sekaligus meragukan konsep perpustakaan hibrida (hibrid library) sebagaimana yang diusulkan oleh Oppenheimer dan
Smithson (1997). Jika sebuah perpustakaan masih memiliki buku di samping bahan
elektronik, menurut Collier, tidak perlu disebut perpustakaan hibrida atau
perpustakaan digital, melainkan semata-mata perpustakaan. Dengan cara pandang
yang sama, tidak perlu juga digunakan istilah perpustakaan maya (virttual library) karena ini hanya
merujuk ke kondisi dari perpustakaan digital pada saat semua koleksi dan akses
ke koleksi itu sepenuhnya terjadi dalam bentuk digital, tersebar di berbagai
tempat, dan sepenuhnya dijalankan di atas jaringan telekomunikasi.
Definisi
yang diusulkan oleh Collier tergolong progresif dan sejalan dengan perkembangan
dan konsep sistem informasi multimedia tersebar (distributed multimedia information systems) sebagaimana diusulkan Birmingham dan
kawan-kawan (lihat: Baeza-Yates dan Ribeiro-Neto, 1999), yaitu :
“The generic name for federal structures
that provide humans both intellectual and physical to the huge and growing up
worldwide networks of information encoded in multimedia digital formats.”
Pemakaian
istilah federal structures datang
dari konsep temu-kembali informasi (information
retrieval system) untuk koleksi
berkas digital yang tersebar. Sedangkan konsep intellectual and physical access menandai perlunya koleksi digital
dilihat sebagai kesatuan sumberdaya. Kesatuan ini dimungkinkan karena TI memungkinkan format, struktur, isi
maupun akses ke isi informasi itu sendiri bersatu dan terintegrasi secara
transparan bagi pemakai.
Berdasarkan potensi TI, maka
konsep perpustakaan digital mengarah ke kumpulan jasa (collection of services) yang bersifat digital sebagaimana diusulkan
Leiner (1998) dan diapaki dalam kelompok kerja Digital Library Metrics di
Universitas Stanford, Amerika Serikat. Definisi yang kini dipakai oleh Association or Research Libraries juga
menunjukkan kecenderungan ini, karena perpustakaan digital dianggap memiliki
ciri-ciri berikut:
o
Bukan merupakan entitas tunggal.
o
Membutuhkan teknologi yang dapat menghubungkan
berbagai sumberdaya.
o
Memungkinkan pengguna melihat perpustakaan
digital dan jasa informasi yang diberikannya sebagai suatu kesatuan yang
transparan.
o
Bertujuan menyediakan akses universal.
o
Tidak dibatasai pada wakil dokumen (document surrogates), tetapi juga
berbagai bentuk digital yang tidak dapat diwujudkan dalam bentuk cetak.
Berbagai
definisi di atas telah memperjelas konsep perpustakaan digital yang ideal,
terutama yang didukung oleh teknologi informasi dan telekomunikasi. Persoalan
yang kemudian muncul adalah, usaha untuk mewujudkan perpustakaan digital yang
ideal itu bukanlah pekerjaan mudah. Itulah sebabanya definisi perpustakaan
digital yang ideal “disembunyikan” dalam istilah yang lebih menggambarkan upaya
dan evolusi, misalnya Digital Library
Initiative. Dengan memakai istilah “inisiatif”, selain bermakna kemajuan
dan potensi teknologi, pengembangan perpustakaan digital memerlukan juga
keterlibatan dan dorongan-dorongan non-teknologis agar dapat terwujud.
Selain
itu muncul semacam kehati-hatian dalam program-program pengembangan
perpustakaan digital mengingat sumberdaya yang diperlukan begitu besar,
sementara dana yang sudah diinvestasikan untuk sumbersaya non-digital juga
sudah sangat besar. Ada
semacam kekuatiran bahwa evolusi perpustakaan digital yang sepenuhnya lepas
dari perpustakaan “konvensional” justru menimbulkan jurang digital (digital divide) yang baru. Inggris,
misalnya, lebih menyukai melanjutkan konsep perpustakaan elektronik mereka
ketimbang Amerika Serikat yang langsung memisahkan proyek-proyek perpustakaan
digital dalam inisiatif tersendiri. Sebagaimana diuraikan oleh Rusbridge
(1998), terdapat perbedaan antara Electronic
Library Programme (E-Lib) di Inggris dengan Digital Library Initiatives (DLI) di Amerika Serikat yang dapat
diringkas dalam tabel berikut:
Tabel : Perbedaan antara E-Lib
dengan DLI
Elib – Inggris
|
DLI – Amerika Serikat
|
Memakai dana
yang sudah ada untuk pengembangan perpustakaan
|
Memakai dana
segar
|
Terdiri dari
proyek-proyek kecil, tetapi dalam jumlah yang besar
|
Terdiri dari
proyek-proyek besar, tetapi jumlahnya sedikit (6proyek)
|
Berorientasi
pada perpustakaan, penerbit dan pengguna
|
Berorientasi ke
teknologi komputer, tidak secara khusus membahas aplikasi untuk perpustakaan
|
Yakin pada
pentingnya melanjutkan perkembangan perpustakaan
|
Meragukan
kemampuan perpustakaan
|
Pendekatan
perubahan secara bertahap (incremental change)
|
Pendekatan
menolak status quo
|
Menggunakan
teknologi yang tersedia dalam bidang temu balik, DBS, dsb.
|
Riset
tingkat tinggi untuk teknologi-teknologi baru.
|
Berkutat
dengan akses ke citra (image) dan persoalan metadat
|
Berkutat
dengan masalah image/video
|
Kurang
memperhatikan persoalan koleksi (geospasial)
|
Sangat
memperhatikan persoalan geospasial
|
Sumber:
Pendit (2002).
Inisiatif pengembangan perpustakaan
digital di Indonesia sudah banyak dilakukan. Misalnya, jaringan perpustakaan
IPTEKNET di bawah MENRISTEK yang merupakan sistem terbuka, link dengan INDOSAT.
Contoh lain adalah Indonesian Digital Library Network (IndonesiaDLN),
disebut-sebut merupakan pioner pengembangan perpustakaan digital di Indonesia (http://idln.itb.ac.id). IndonesiaDLN
didirikan oleh Knowledge Management Researc Group (KMRG), sebuah organisasi
nonstruktural di Institut Teknologi
Bandung (ITB), bersama-sama dengan pustakawan dan ahli informasi, di bawah
pimpinan Ismail Fahmi. IndonesiaDLN didanai oleh International Development
Research Center (IDRC) Canada, dan YLTI Indonesia. Dalam menjalankan roda
organisasi, IndonesiaDLN bekerjasama dengan Perpuatakaan Pusat ITB dan Computer
Network Research Group (CNRG) ITB. Data tahun 2001 (saat penelitian dilakukan),
IndonesiaDLN telah memiliki 4.955 koleksi dan 4.864 anggota dari 7 negara.
Selain itu, ada juga Jaringan Perpustakaan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN) yang anggotanya terdiri dari IAIN, UIN dan STAIN seluruh Indonesia, yang
menggunakan software GDL-Network (Ganesha Digital Library Network); dan juga Incu-VL
(Indonesia Cristian University Virtual
Library), yaitu jaringan perpustakaan maya beberapa universitas Kristen di
Indonesia. Juga ada
jaringan perpustakaan Pusat Layanan Disiplin Ilmu (PUSYANDI) yang terdiri dari
beberapa PTN besar di bawah koordinasi UI. Model yang masih manual misalnya
kerjasama perpustakaan Pondok Pesantren, namun yang terakhir ini sudah mulai
merintis ke digital library.
Sesungguhnya,
di Indonesia sudah terdapat jaringan perpustakaan PT yang cukup mapan, tinggal
bagaimana membangun komitmen bersama untuk meningkatkan kualitas layanan
informasi dan pengetahuan dalam rangka
membangun dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap pengetahuan. Inisiatif
perpustakaan digital di Indonesia, sebagian di antaranya dibangun bersamaan
dengan pengembangan proyek knowledge
management (KM). IndonesiaDLN misalnya, dirintis melalui KMRG (Knowledge Management Research Group). Konsep
pemahaman perpustakaan digital yang dianut IndonesiaDLN adalah definisi menurut
Digital Library Federation yang
berbunyi:
”Digital librraies are
organization that provide the resources, including the specialized staff, to
select, structure, offer intellectual access to, interprete, distribute,
preserve the integrity of, and ensure the persistence over time of collections
of digital works so that they are readily and economically available for use by
defined community or set of communities”. (Perpustakaan digital adalah
organisasi yang menyediakan koleksi-koleksi digital, termasuk staf untuk
mengatur dan mengelolanya sehingga dapat tersedia setiap saat dengan cepat dan
ekonomis bagi komunitas penggunanya.
Dari
penjelasan di atas bisa diambil beberapa hal yang terkait dengan perpustakaan
digital yaitu: (a) tersedianya koleksi digital; (b) adanya staf pengelola; (c)
adanya komunitas pengguna; (d) didukung oleh teknologi informasi dan
komunikasi.
Sedang
kegiatan dalam perpustakaan digital di antaranya: (a) menyediakan koleksi
digital; (b) memilih dan mengumpulkan koleksi digital; (c) menstrukturkan
koleksi digital; (d) membuka akses intelektual terhadap koleksi digital; (e)
menginterpretasikan koleksi digital; (f) menyebarkan koleksi digital; (g)
menjaga integritas koleksi digital; (h) menjamin ketersediaan koleksi digital
setiap saat.
Dari berbagai
ulasan tersebut dapat diambil pemahaman bahwa :
o
Perpustakaan
digital adalah perpustakaan yang koleksinya terdiri dari bahan pustaka digital
dan layanannya terdistribusi melalui sistem jaringan. Ia bekerja dalam frame work internet, sehingga koleksinya tidak tampak secara riil
tetapi dapat diakses melalui jaringan.
Karena bangunan fisik perpustakaan senyatanya tidak ada ”in real life”, dan juga koleksinya tidak
terdiri dari tumpukan buku secara fisik, tapi terdiri dari bahan pustaka dari
berbagai perpustakaan yang terpisah dan dikelola di ruang virtual menggunakan komputer dan jaringan internet, maka disebut
juga perpustakaan maya (virtual library).
o
Perpustakaan
digital bukanlah entitas tunggal atau dapat berdiri sendiri (ada banyak elemen
yang membentuk dan terkait dengan perpustakaan digital).
o
Perpustakaan digital membutuhkan teknologi untuk
menghubungkan berbagai sumberdaya.
o
Perpustakaan digital menyediakan akses terhadap
sumber-sumber informasi secara universal.
o
Perpustakaan digital tidak dibatasi hanya pada
koleksi-koleksi digital pengganti dokumen, melainkan diperluas pada obyek-obyek
yang tidak dapat direpresentasikan dan disebarkan dengan bentuk tercetak.
o
Perpustakaan digital menyediakan kesempatan akses
informasi tanpa batas ruang dan waktu, ras dan golongan, sehingga mampu
mengatasi kesenjangan informasi di antara kelompok masyarakat.
Teknologi untuk Menemukan Pengetahuan
Apa pun nama
yang diberikan, inisiatif perpustakaan elektronik di Inggris dan perpustakaan digital di Amerika
Serikat tidak terlepas dari ambisi untuk menghimpun sebanyak mungkin informasi
dan pengetahuan. Keduanya menggunakan teknologi telematika sebagai salah satu
unsur pendorong terbesar bagi peningkatan minat orang untuk memperoleh
pengetahuan. Karena besarnya dorongan ini, beberapa proyek perpustakaan
elektronik dan perpustakaan digital memfokuskan diri hanya pada pemasangan
infrastruktur teknologi dengan harapan akan tercipta tiga hal:
o Meningkatkan ruang kolaborasi virtual manakala sekumpulan orang
tersebar secara fisik tetapi saling terkoneksi lewat jaringan teknologi.
o Intensifikasi pengunaan modal
intelektual (intellectual capital)
karena kemampuan belajar secara cepat dan berkesinambungan menjadi faktor penentu
keberhasilan.
o Potensi untuk memanipulasi
berbagai bentuk data dan informasi.
Pengembangan infrastruktur
telematika dalam rangka membangun perpustakaan digital ini medorong rekayasa
pengetahuan sebagai proses dan metodologi yang terdiri dari 3 komponen besar
(Kim dan Kim, 1999), yaitu :
o Data warehousing, yaitu merupakan upaya konsolidasi data dari berbagai sumber menjadi
satu kelompok ”gudang data” (data
warehouse). Komponennya adalah: (a) data
extraction, mengambil data yang diperlukan dari sumber penyimpanannya; (b) data profiling, secara otomatis
menentukan skema data; (c) data
cleansing, yaitu memperbaiki data yang rusak, hilang, dan juga konversi
data; (d) data transformation, yaitu
konversi dan restrukturisasi data; dan
(e) data loading, yaitu memasukkan
data yang sudah dibersihkan ke database
RDB atau file-file.
o Decision support dan online analitycal processing (OLAP)
yang mengijinkan pemakai melakkan pencarian di database sambil melakukan
analisis yang rumit terhadap data dari berbagai perspektif secara langsung (online).
o Data mining, atau penemuan
pengetahuan secara otomatis dari data. Dalam prosesnya mencakup pula beberapa
fungsi data warehousing untuk kemudian secara otomatis membentuk model data
dengan menggunakan algoritme, (misalnya decision
trees, market-basket analysis, memory-based reasoning).
Setelah konsep manajemen
pengetahuan berkembang, industri komputer berupaya menyediakan peralatan yang
lebih sesuai. Salah satu perkembangan di bidang komputasi yang mendapat
perhatian besar adalah penciptaan dan penggunaan apa yang oleh O’Leary (1998)
disebut sebagai ”data kualitatif”. Selain menekankan pada perlunya pengaitan
dan penggunaan semacam skema atau struktur logika terhadap sekumpulan data,
teknologi pengetahuan kualitatif ini juga memanfaatkan berbagai teknologi
komunikasi. Perkembangan
perpustakaan digital tidak lepas dari perkembangan ini, terutama ketika
dikaitkan dengan upaya menemukan kembali koleksi digital.
Sebenarnya dapat kita
sadari bahwa konsep-konsep data mining mengandung
pula kritik terhadap pendekatan yang terlalu mengandalkan ketersediaan data
dalam jumlah besar. Konsentrasi yang terlalu besar pada sekumpulan data sebanyak-banyaknya telah melahirkan berbagai
persoalan, terutama karena ketersediaan data tidak selalu berkaitan dengan
kemampuan pemanfatannya untuk pengambilan keputusan. Perkembangan pesat
teknologi informasi, dalam memory
maupun storage, menawarkan potensi
untuk, tidak hanya menghimpun data dalam jumlah besar tetapi juga membantu pemakai
untuk menemukan kaitan logika antar sejumlah besar data. Dengan kata lain,
teknologi informasi menawarkan kemudahan ”menemukan pengetahuan di antara rimba
raya data”.
Para akademisi telah
menemukan istilah untuk hal di atas, yaitu knowledge
discovery in database (KDD). Bagi
para peneliti, KDD sudah merupakan sebuah disiplin yang sedang berkembang pesat dengan
memanfaatkan teori-teori dari artificial
intelligent, matematik dan statistik. Norton (1999) menggambarkan KDD
sebagai kajian tentang penciptaan pengetahuan, proses, algoritma dan mekanisme
untuk memanfaatkan potensi penemuan-kembali pengetahuan. Bagian penting dari
KDD adalah identifikasi pola atau kecenderungan transformasi mulai dari
metadata sampai tingkatan semantik. Proses ini bisa digambarkan sebagai
hubungan antar entitas yang rumit dan kait-mengait. Tujuan akhir dari
penyelidikan KDD adalah penemuan pengetahuan yang dapat digunakan untuk
kegiatan tertentu, bukan sekedar mengumpulkan data untuk keperluan yang terlalu
umum. Dengan kata lain, kita perlu memberi prioritas yang sama pentingnya
kepada upaya kepastian tentang ”untuk apa kita mengumpulkan data?”, dan tidak
hanya mementingkan upaya mengumpulkan data sebesar-besarnya dengan bantuan
teknologi.
Dengan demikian, KDD
meliputi semua proses, terautomasi maupun tidak, yang memperkuat atau
memungkinkan eksplorasi koleksi digital, besar atau kecil, untuk mengekstraksi
pengetahuan yang potensial. Jika kita melihat KDD sebagai proses yang utuh,
maka jelaslah bahwa mencari pengetahuan di sekumpulan data melibatkan kegiatan
intelektual dan teknologis, bukan hanya mengaduk-aduk data. Prinsip dasar KDD
adalah:
1. Pengetahuan tertanam (embeded) di dalam kebutuhan informasi pemakai, bukan berada di
dalam mesin. Artinya, sebuah sistem berbantuan teknologi tidak dapat menyediakan
pengetahuan, kecuali sistem tersebut dilengkapi pemahaman tentang kebutuhan
pemakai sistem.
2. menemukan adanya pola hubungan antar data
tidak sama dengan menemukan informasi, sebab hubungan tersebut harus diperluas
ke hubungan dengan kebutuhan pemakai.
3. Hasil setiap temuan pencarian harus
diletakkan dalam konteks pencarian itu sendiri, kaena yang mendorong seseorang
untuk mencari informasi adalah berbagai situasi dan kebutuhan di sekitar orang
itu.
4. banyak aspek dalam KDD bersifat dinamis
dan interaktif, bukan sesuatu yang linear (garis lurus) dari permintaan ke
pencarian ke penemuan. Di setiap tahap dapat terjadi peroses yang dinamis.
Misalnya sebuah kebutuhan informasi, terbentuk tidak saja oleh keperluan yang
dirasakan pada satu saat, tetapi mungkin juga pada saat seseorang/pemakai
memulai sebuah pencarian di pangkalan data dengan kebutuhan yang sudah pas dan
tak dapat ditawar-tawar lagi. Sistem informasi yang baik akan ikut merumuskan
kebutuhan pemakai secara lebih baik. Inilah yang memerlukan proses dinamis-interaktif.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, maka yang
diperlukan bukan hanya teknologi penyimpan data dan kompilasi koleksi digital.
Kita memerlukan pula teknologi yang mampu membantu pemakai membentuk
kaitan-kaitan semantik, membangun pemahaman terhadap sekumpulan data, dan
melihat kaitan serta pemahaman ini dalam konteks yang lebih luas. Itulah
sebabnya ketika teknologi jaringan dan telekomunikasi semakin maju, maka boleh
dikatakan bahwa teknologi pengelolaan pengetahuan mengalami pertumbuhan sangat
dinamik. Seperti dikatakan Joblonski, Horn dan Schlundt (2001), teknologi untuk
manajemen pengetahuan kini berdiri di atas tiga kaki, yaitu :
- Intelegensi buatan (artificial intelligence) yang membantu mengekstraksi informasi dari berbagai sumber untuk disimpan di knolwledge base. Sebuah knowledge base memiliki format yang dapat ditelusur dan diakses sesuai keperluan pemakai. Pendekatannya berdasarkan asumsi bahwa knowledge base dapat dipisahkan dari knowledge carriers. Artinya, sekumpulan data di dalam sebuah alat penyimpan harus dapat dilihat sebagai potensi untuk menciptakan kaitan antara berbagai data. Bukan hanya ”gudang data”.
- Manajemen dokumen (document management) untuk menyimpan dan mengelola berbagai tipe dokumen dalam satu pusat. Pemanfaatannya adalah melalui metadata. Dokumen tidak lagi dapat diartikan secara amat sempit sebagai barang cetakan berbagai kertas. Dokumen elektronik dan digital memiliki berbagai karakter yang berbeda. Tuntutan pembuatan metadata menjadi semakin besar karena kita melihat bahwa pola pengindeksan dokumen berbasis kertas tidak lagi memadai.
- Teknologi jaringan komputer dan hypertext yang memungkinkan berbagai dokumen dihubugkan, sedang pencariannya didukung oleh search engine.
Dari segi teknologi, maka perpustakaan digital dan
pengelolaan pengetahuan sangat berkaitan dan berkepentingan dengan
perkembangan-perkembangan dalam penelitian maupun pengembangan KDD.
Terlebih-lebih dengan adanya teknologi internet, muncul potensi untuk
mengeksploitasi segala kemungkinan yang ditawarkan teknologi, misalnya dalam
bentuk pengembangan intranet dan ekstranet untuk sebuah jaringan inter atau
antar PT dalam lingkup lokal, nasional, regional, maupun internasional.
Jaringan perpustakaan digital PT dengan memanfaatkan teknologi informasi yang
ada mampu menghapuskan kesenjangan digital dan kesenjangan pengetahuan antar
PT.
Kupustakawanan
dan Knowledge Management
Istilah kepustakwanan merupakan terjemahan
langsung dari librarianship. Akhiran
”ship” dalam kata ini mengungkapkan pengertian ”kondisi, lembaga, atau profesi,
sehingga secara umum kepustakawanan diartikan sebagai ”institusi, tugas, atau
profesi yang dijalankan pustakawan” (Gates, 1963, 3). Batasan ini diharap dapat
menjelaskan makna kata kepustakawanan, sehingga orang tidak ragu-ragu dalam
menetapkan sebuah istilah untuk menggambarkan kegiatan di bidang perpustakaan,
apakah ”kepustakawanan, ilmu perpustakaan, jasa perpustakaan, atau ilmu
informasi, dan apakah ada perbedaan di antara semua itu”? (Narayana, 1991).
Pembahasan kepustakawanan juga kemudian
menunjukkan bahwa bidang yang mereka bicarakan mempunyai konotasi langsung ke
sebuah lembaga yang secara historis berkembang dari keberadaan dan kepedulian
orang pada buku. Buckland (1983), misalnya, mengatakan bahwa kepustakawanan dibangun
dari pengetahuan inti mengenai pengindeksan sebagai upaya simpan dan temu
kembali buku, pengetahuan tentang hubungan antara buku dengan pengarangnya,
buku dengan buku lain, dan buku dengan pemakainya. Apa yang selama ini diurus
perpustakaan adalah buku (dalam arti luas) dan kegiatan membaca. Buku adalah
rekaman pengetahuan (record of knowledge)
dalam pengertian yang sangat luas dan yang termasuk dalam kategori ”isi budaya”
sebagaimana yang dimaksud oleh Raymond Williams (dalam Kuntowijoyo, 1987). Isi
budaya adalah segala yang dihasilkan suatu sistem budaya, dan oleh karena itu
rekaman pengetahuan termasuk di dalamnya.
Nitecki (1995) menggali lebih jauh lagi, mencoba
menemukan akar-akar filosofis dari kepustakawanan Anglo-Saxon (terutama Amerika
Serikat) dan menemukannya pada beberapa prinsip hidup atau pandangan, yaitu
pandangan liberal progresif abad XIX, pragmatis-empiris, pendekatan perilaku,
dan humanisme. Kepustakawanan Anglo-Saxon dan AS percaya kepada
nilai-nilai tentang kemampuan individu (sef mastery, self fulfillment) dan
supremasi personalitas individu, selain mempercayai bahwa segalanya bersifat relatif bergantung kepada masyarakat di mana ia tumbuh.
Kepustakwanan juga humanis karena manusia dianggap sumber inspirasi; dan ilmu
pengetahuan adalah sarana kemajuan.
Sedangkan knowledge
management (KM) oleh para ahli
didefinisikan dalam berbagai perspektif, salah satu definisi dikemukakan
Gartner Group’s: ”KM adalah suatu disiplin yang menawarkan suatu pendekatan
terpadu untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, mengevaluasi, menemukan kembali
dan memenfaatkan bersama (sharing) aset-aset informasi badan korporasi.
Aset-aset tersebut mencakup database, dokumen, prosedur, keahlian serta
pengalaman”. (Srikantaiah, 2000, 3). Menurut
Wenig (1996), ”KM terdiri atas aktivitas organisasi untuk memperoleh
pengetahuan dari pengalaman organisasi, kebijakan dan dari pengalaman satu sama
lain untuk mencapai tujuan organisasi. Aktivitas tersebut dilakukan melalui
perpaduan teknologi dan strategi berbasis kognisi (cognitive-based strategies) untuk mendapatkan pengetahuan dan
menciptakan pengetahuan baru dengan cara meningkatkan sistem kognisi
(organisasi, manusia, komputer, atau gabungan manusia dan sistem komputer)
dalam penyimpanan dan pemanfaatan pengetahuan untuk belajar, memecahkan masalah dan
mengambil keputusan”.
Dari berbagai pendapat para ahli yang telah
dipelajari, Abdul Main (2001, 17) menyimpulkan bahwa KM menekankan pada: (a)
adanya usaha yang serius untuk meningkatkan sistem kognisi (organisasi, manusia,
komputer, atau gabungan manusia dan sistem komputer); (b) adanya aset-aset
pengetahuan yang dikelola, yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi,
individu atau kelompok; (c) adanya proses pengadaan, pengelolaan, penyimpanan,
dan penggunaan pengetahuan tersebut untuk mencapai tujuan tertentu; (d) adanya
penyebaran pengetauan dan pengalaman baik melalui akses langsung ke database mapun melalui sharing dan kolaborasi ke lingkungan internal dan
eksternal organisasi; (e) adanya kreativitas dan inovasi penciptaan
pengetahuan baru secara terus-menerus.
Pada umumnya, suatu organisasi menerapkan KM karena
empat alasan: (a) untuk meningkatkan kolaborasi; (b) untuk meningkatkan
produktivitas; (c) memungkinkan dan mendorong inovasi; dan (d) untuk mengatasi
membludaknya informasi dengan cara meyebarkannya.
Dengan melihat hakekat KM tersebut, menunjukkan
tidak terpisahkannya antara kepustakawanan dengan pengetahuan, sehingga
sangatlah sulit mengabaikan spekulasi
bahwa KM dan pepustakaan digital (digital
library) adalah bagian dari kepustakawanan juga. Pada saat yang sama
tidaklah dapat dipungkiri bahwa pembahasan tentang knowledge management dan digital
library jarang merujuk ke
kepustakawanan. Mengapa demikian? Salah satu kemungkinan jawabannya adalah,
karena kepustakawanan kurang mengandalkan dan memanfaatkan teknologi
telematika, padahal konsep knowledge
management dan digital library sarat
oleh pemikiran mengenai potensi teknologi itu. Turillo, seperti dikutip
Hildebrand (1999), misalnya mengatakan bahwa, knowedge management tidak
bisa berjalan tanpa teknologi informasi, demikian juga digital library, jelas-jelas berjalan di atas frame work internet.
Dari pendapat Turillo tersebut terlihat bahwa
perkembangan perpustakaan modern, digital
library, dan juga KM tidaklah bisa
dipisahkan dari teknologi informasi. Namun dunia kepustakawanan belum
sepenuhnya mampu merespon perkembangan itu. Manurut Pendit (2002), karena masih
ada pandangan pustakawan yang memisahkan ”isi” dari ”wadah”. Dalam pandangan
pustakawan, tugas mereka adalah mengelola isi, sementara teknologi informasi
lebih merupakan wadah. Kurang ada apresiasi terhadap kenyataan bahwa
perkembangan teknologi memungkinkan kita mengelola keduanya secara saling
melengkapi. Bukankah Marshall McLuhan (1966) pernah mengatakan bahwa ”the medium is the message”? (medium itu
adalah pesan juga). Sampai sekarang pustakawan lebih senang menganggap diri
mereka adalah content manager dan mengasumsikan bahwa isi dapat begitu saja
dipisahkan dari wadahnya. Sebaliknya, kecenderungan perkembangan teknologi
informasi telah menyebabkan sangat sulitnya memisahkan isi dari wadah.
Dalam mainstream
perpustakaan konvensional saja, sulit memisahkan isi intlektual suatu buku dari bukunya itu sendiri (format
buku: tercetak adalah media perekam pengetahuan; demikian juga casset dan
CD-ROM juga merupakan media perekam pengatahuan yang tidak mungkin bisa
dipisahkan dari isinya). Dalam mainstrem
perpustakaan modern (digital library),
media penyimpan pengetahuan tersebut berupa teknologi jaringan. Mungkinkah kita
bisa mengabaikan teknologi jaringan ketika kita ingin membaca atau menggali pengetahuan dari
sumber-sumber digital? Maka tidaklah dapat dikatakan bahwa ”isi” terpisah dari
”wadah”. Karena antara isi dan wadah itu menyatu sebagaimana nilai intrinsik
dan ekstrinsik suatu mata uang.
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa kepustakwanan memang memiliki ciri-ciri yang tidak sepenuhnya cocok
dengan perkembangan konsep KM dan digital
ibrary. Namun demikian, secara umum memiliki banyak kesamaan: (a) dari content yang dikelola, baik perpustakaan
konvensional, perpustakaan digital maupun KM, sama-sama mengelola pengetahuan
dengan tugas utama memilih, mengelola, menyimpan dan menyebarkan pengetahuan.;
(b) dari segi filosofi keilmuan, baik digital
library maupun KM sama-sama menggunakan landasan ilmu perpustakaan yang
dasar-dasar epistemologi, ontologi, maupun aksiologinya telah mapan. Namun
untuk digital library banyak
berhubungan dengan teknologi telematika; sedang KM salain berhubungan dengan
telematika juga berhubungan dengan ilmu
manajemen.
Dengan demikian, perpustakaan digital dan KM
hendaknya menjadi bagian dari perkembangan kepustakawanan. Artinya, pustakawan di era global hendaknya
mampu mengadopsi konsep digital library
maupun KM yang berkembang pesat itu. Tidak hanya menjadikannya sparing partner, seperti dikatakan oleh
Pendit (2002). Bagaimana caranya? Menurut Ryske dan Sebastian (2000, 365-388),
untuk mampu mengadopsi konsep perpustakaan digital dan KM ke dalam
kepustakawanan, maka pustakawan harus berani merubah visi perpustakaannya: ”(a) From cost center to value added center;
(b) From offering to service to meeting the need of customer; (c) From
information provider to knowledge partner.”
Dengan visi baru itu, perpustakaan hendaknya: (a) Berorientasi
pada pemakai, perpustakaan sedapat mungkin dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
pemakai (b) Partisipatif dan interakti, karena potensi pemakai sebagai pencipta
dan penyebar pengetahuan, maka perpustakaan harus menyediakan fasilitas yang
dibutuhkan mereka. Dengan fasilitas yang memadai, pemakai dapat mempublikasikan
pemikiran dan karyanya ke sistem digital, dan orang lain dapat mengkritik dan
memberi masukan, misalnya melalui fasilitas electronic
publishing, milis, videoconferencing, vasilitas untuk me-review karya orang lain, dsb. (c) Bersikap
proaktif, dengan bantuan aktif pemakai, sistem harus dapat memberi tahu orang
yang membutuhkan setiap informasi yang masuk ke perpustakaan secara cepat dan
otomatis. Hal ini dapat dilakukan melalui email, an automatic and intelligence Current Awareness Services, milis, dsb. Sistem yang demikian itu
dapat meningkatkan apresiasi pemakai terhadap pengetahuan, sehingga peran
perpustakaan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan akan berjalan maksimal.[]
Daftar
Pustaka
Abdul Main ‘Pendekatan
knowledge management dalam pengelolaan modal intelektual perguruan tinggi’. Jurnal El-Ijtima’, IAIN Sunan Ampel.
Vol. 1 No. 2, 2003.
-------, ”Jaringan
perpustakaan perguruan tinggi : atlernatif atasi kesenjangan informasi
antar kampus”. Librisa, Vol. 1
No.1, 2003, hal. 5-14.
-------, “Pendekatan knowledge
management dalam pengelolaan dan pemanfaatan modal pengetahuan di perpustakaan
digital: Studi kasus di Indonesian Digital Library Network.” (Tesis
Pascasarja UI), Bidang Ilmu Budaya Program Pascasarjana, Fakultas Sastra
Universitas Indonesia,
Jakarta, 2001.
-------, Knowledge management; Konsep dan aplikasinya di perpustakaan.
Jurnal Al-Maktabah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
-------, ‘Teknologi informasi dalam sistem jaringan perpustakaan
perguruan tinggi’. Jurnal
IAIN Sunan Ampel, Edisi
Desember 1998-Februari 1999, hal 34-42.
Buckland, Michael K.
-------, Library services in theory and context, 2nd, Oxford : Pergamon
Pers, 1983.
Covi, Lisa dan Kling, R. ”Organization dimensions of effective digital
library use: closed rational and open natural systems models”. Journal of
the American Society forr Information Science”, Vol. 47 (9), hal.
672-689.
Chu dan Marilyn Rosenthal ”Search
engine for the World Wide Web: A Comparative Study and Evaluation Methodology”
(1999). Diturunan dari: http://www.asis.org/annual-96/ElectronicProceedings/chu.html
Cumming, Anthony M. dan Mellon, Andrew W. “University librraies and
schoolarly communication: a study prepared for the Andrew W. Mellon Foundation”.
[s.l.], [s.n.], 1998.
Dwiyanto, Arif Rifai. Jaringan
perpustakaan digital Indonesia.
Makalah Kongres IX dan Seminar Ilmiah Ikatan Pustakawan Indonesia,
2002.
Gates, Jean Key, Introduction to
librarianship. New York
: McGraw-Hill, 1968.
Hildebrand, Carol, “Does KM = IT?-Intellectual Capitalism”, Enterprise Magazine.
Septembwysiwyg://content.186/.Diturunkan dari:
http://www.cio.c…hive.enterprise
/091599_ic_content.html.
Indonesia. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (hasil amandemen kedua).
International Federation of
Library Association and Institutions (IFLA). “Statement on Libraries and
Information Sustainable Development”. Glasgow,
2002.
ICSU_UNESCO Coference of Experts
on Electronic Publishing in Science. Paris, 19-23 Pebruari 1996.
Jefcoat,
Graham. “Priorities for digital library
research: a view from the British Library Research and Innovation Center”.
Diturunkan dari: http://www.ukoln.ac.uk/services/bl/blri078/paper57.html
Kim, Wong and Myung Kim. “Performance and Scalability in Knowledge
Engineering: Issues and Solution”. The
Journal of Object Oriented Programming, November-Desember 1999, hal. 39-54.
Kopp, James J. “Library cobsortia and information technology: the
past, the present, the promise”. Information
Technology and Library Journal, Vol. 17(1) March, 1998, hal. 13-17.
Kuntowijoyo, Budaya dan
masyarakat. Yogyakarta : Tiara Wacana,
1987.
Malhotran, Yogesh, “From information management to knowledge
management: beyond ‘Hi-Tech Hidebound’ systems”, dalam K. Srikantaiah dan
M.E.D. Koenig (ed), Knowledge Management
for the Information Professional (ASIS Monograph Series). Medford, New Jersey:
Information Today Inc, 2000.
Murdick, Robert G., et.al. Sistem
informasi untuk manajemen modern ; Penerjemah, J. Djamil. Jakarta : Erlangga,
1995.
Narayana, G.J., Librray and Information Management, New Delhi: Prentice Hall, 1991.
Nitecki, J.Z., Philosophical aspect of library information science, in
Retrospect. Vol. 2 of Nitecki Trilogy.
Diturunkan dari: http://www.du.edu/LIScollab/library/nitecky. (3 Desember 2001).
Norton, M. Jay. “Knowledge discovery in database”. Library Trends, Vol. 48, no. 1, 1999,
hal. 9-21.
O’Leary, Daniel E., “Enterprise
knowledge management. Comminication of
IEEE, March, 1998, hal. 54-61.
Oppenheimer, Charles dan Daniel Smithson, “What is the hybrid
library”, Journal of Information Science,
Vol 23 (3), hal. 97-112.
Payne, Lizanne. The Washington
research library consortia: a real organization for virtual library” International Tecnology and Libraries
Journal, Vol. 17 (1) March, 1998, hal. 30-34.
Pendit, Putu Laxman. Knowledge
management dan digital library sebagai kritik terhadap kepustakawanan
(librarianship). Makalah Kongres IX dan Seminar Ilmiah Ikatan Pustakawan Indonesia,
2002.
Ryske, Ellen J. dan Sebastian T.B., “From libabry to knowledge center:
the evolution of technology Infocenter”, dalam Knowledge management for the information professional. (Asis Monograph Series), ed by. T.
Srikantaiah dan Michael E.D. Koenig. Metford,
New Jersey: Information Today,
Inc., 2000.
Tucker, Dick. “The digital libabry-Prospect for developing countries”.
Makalah untuk 65th IFLA
Council and General Conference Bangkok, Thailand, August 20-August 28, 1999. Lihat:
http://www.ifla.org/IV/ifla65/65dt-e.htm
Toumi, Ilkka. “Data is more than knowledge: Implication of the
reversed knowledge hierarchy for knowledge management and organizational
memory”. Journal of Management
Information Systems, Vol. 16 (3), 2000, hal. 103-117.
Wenig, R.G., “What is knowledge management?”. The Knowledge Management
Forum. Diturunkan dari: http://www.3-cities.com~bonewman/what-is.htm []
* Artikel ini semula merupakan makalah
yang disampikan pada Pelatihan
Ketrampilan Tenaga Kepustakaan Bagi Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah
VII Jawa Timur, (Surabaya, 29–31 Agustus 2007), dengan perubahan dan penyesuaian seperlunya.
terlihat bahwa perkembangan perpustakaan modern, digital library sangat pesat. Artinya, pustakawan di era global hendaknya mampu mengadopsi konsep digital library maupun KM
BalasHapussilahkan kunjungi = https://www.ittelkom-sby.ac.id/