Kamis, 07 Maret 2013

GAJAH MADA SANG LEGENDA

Gajah Mada ialah salah satu Patih, kemudian Mahapatih, Majapahit yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya. Tidak diketahui sumber sejarah mengenai kapan dan di mana Gajah Mada lahir. Ia memulai karirnya di Majapahit sebagai bekel. Karena berhasil menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) dan mengatasi Pemberontakan Ra Kuti, ia diangkat sebagai Patih Kahuripan pada 1319. Dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.


Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui. Ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang melakukan pemberotakan terhadap Majapahit. Keta & Sadeng pun akhirnya takluk. Patih Gajah Mada kemudian diangkat secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi sebagai patih di Majapahit (1334).

Sumpah Palapa

Pada waktu pengangkatannya ia mengucapkan Sumpah Palapa, yakni ia baru akan menikmati palapa atau rempah-rempah yang diartikan kenikmatan duniawi jika telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton berikut [1]: “ Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa ”



(Gajah Mada sang Maha Patih tak akan menikmati palapa, berkata Gajah Mada “Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa. Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pulau Pahang, Dompo, Pulau Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku takkan mencicipi palapa.)

Walaupun ada sejumlah (atau bahkan banyak) orang yang meragukan sumpahnya, Patih Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Bedahulu (Bali) dan Lombok (1343), Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatra) telah ditaklukkan. Lalu Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit,
Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.

Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Perang Bubat

Dalam Kidung Sunda[2] diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk hendak menikahi Dyah Pitaloka putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu, Patih Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya.

Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh “Madakaripura” yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.

Akhir hidup

Disebutkan dalam Negarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah gering (sakit). Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.

Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara.


GAJAH MADA MASUK ISLAM
Gajah Mada, pahlawan maha besar Nusantara itu lahir di wilayah Lamongan, Jawa Timur.

1. Di daerah Modo dan sekitarnya, termasuk Pamotan, Ngimbang, Bluluk, Sukorame dan sekitarnya, tersebar folklor atau cerita rakyat. Dongeng dari mulut ke mulut, mengisahkan bahwa Gajah Mada adalah kelahiran wilayah Modo situ.

2. Daerah Modo-Ngimbang-Pamotan-Bluluk dan sekitarnya memang ibukota sejak zaman Kerajaan Kahuripan Airlangga, bahkan anak-cucunya juga mendirikan ibukota di situ, karena strategis, alamnya bergunung-gunung, bagus untuk pertahanan, dan dekat dengan Kali Lamong yang merupakan cabang utama Sungai Brantas. Sudah begitu, ada jalan raya Kahuripan-Tuban yang dibatasi Sungai Bengawan Solo di pelabuhan Bubat ( kini bernama kota Babat ). Ibukota ini baru digeser oleh cicit Airlangga ke arah Kertosono-Nganjuk, dan baru di zaman Jayabaya digeser lagi ke Mamenang, Kediri. Selanjutnya oleh Ken Arok digeser masuk lagi ke Singosari. Baru oleh Raden Wijaya dikembalikan ke arah muara, yaitu ke Tarik, namun anaknya yang akan dijadikan penggantinya, yakni Tribuana Tunggadewi, diratukan di daerah Lamongan-Pamotan-Bluluk lagi, yaitu Kahuripan. Jadi Tribuana Tunggadewi sebelum jadi Ratu Majapahit adalah Bre Kahuripan alias Rani Kahuripan, Lamongan.

3. Ketika Gajah Mada menyelamatkan Raja Jayanegara dari amukan pemberontak Ra Kuti, dibawanya Jayanegara ke arah Lamongan, yakni Badander / bisa Badander Bojonegoro, bisa Badander Kabuh, Jombang, dua-duanya rutenya ke arah Lamongan ( dalam hal ini adalah Pamotan-Modo-Bluluk dsktarnya ). Itu sesuai Teori Masa Anak-anak, di mana kalau anak kecil atau remaja berkelahi di luar desanya, pasti lari menyelamatkan diri ke desanya minta dukungan, tentu karena di desanya ada banyak teman, kerabat maupun guru silatnya. Saya kira Gajah Mada juga menerapkan taktik itu.

4. Di wilayah Ngimbang-Bluluk sampai sekarang ada situs kuburan Ibunda Gajah Mada, yakni Nyai Andongsari.

5. Di dekat situ pula ada situs kuburan kontroversial, karena ada kuburan yang diyakini sebagai kuburan Gajah Mada namun dalam posisi “Islam”, karena kuburannya menghadap ke arah yang persis sebagaimana kuburan orang Islam. Kalau misalnya hal ini benar, maka wajar masa tua Gajah Mada tidak ditulis di babad-babad atau kitab kuno, atau cenderung disisihkan atau dihapus dari sejarah, karena Gajah Mada mungkin dianggap “murtad” atau “semacam itu”.

Pendapat mengenai “Gajah Mada masuk Islam di hari tua” ini tidak mengada-ada, karena seorang kyai terkenal di Jawa Timur keturunan Sunan Drajat, yaitu KH Ghofur dari Pondok Pesantren Drajat, Paciran, Lamongan menyatakan bahwa beliau pernah berdialog secara mistis dengan “ruh” Gajah Mada , dan “ruh Gajah Mada” menyatakan bahwa Gajah Mada masuk Islam di hari tuanya.

Memperjuangkan pendapat semacam ini tidak mudah. Saya pernah bertamu ke teman-teman saya yang menjadi pejabat tinggi kebudayaan maupun pejabat tinggi pendidikan, tidak ada yang mau membuat seminar nasional mengenai tempat lahir Gajah Mada, entah apa sebabnya, mungkin Cuma karena kemalasan khas pegawai negeri Indonesia saja. Yang bersedia malahan beberapa budayawan Malaysia, namun sayang rencana itu tertunda-tunda menunggu saat yang baik, padahal dana sudah siap. Biarlah nanti kalau Malaysia sudah siap, biar orang-orang Indonesia bisanya cuma marah-marah karena merasa dilangkahi, sebagaimana sudah sering terjadi.

Maka, untuk perjuangan awal, paling tidak beberapa makalah saya yang saya bacakan di beberapa pertemuan budaya di Singapura, Malaysia dan Brunei sedikit banyak menyebut bahwa Gajah Mada adalah putera kelahiran Lamongan dengan bukti-bukti di atas.
Di samping itu, folklor itu saya sisip-sisipkan ke novel saya “Pendekar Sendang Drajat, Misteri Pengebom Candi Gajah Mada” yang akan terbit 2 bulan yang akan datang. Sementara itu, novel saya yang sedang beredar dan cukup laris di pasaran, “Pendekar Sendang Drajat Memburu Negarakertagama” mulai saya arahkan ke arah setting daerah Babat-Modo-Ngimbang-Pamotan.

Pendapat lain
Pendapat lain sudah mengantre tentunya, karena folklor atau naskah “Usana Jawa” dari Bali, mengklaim bahwa GAJAH MADA lahir dari sebuah buah kelapa yang pecah di Bali.... hahahaha...aneh kan?

Naskah lain yang juga dari Bali, yakni “Babad Gajah Mada” mengisahkan bahwa Gajah Mada lahir di Pertapaan Lemah Tulis di Bali. Namun itu hanya tulisan babad atau kidung kuno yang ditulis di zaman pasca Majapahit , sedangkan bukti-bukti lain yang mendukung , sejauh ini belum ada.

Lalu DR. Agus Aris Munandar dari UI berteori bahwa Gajah Mada lahir di Malang, dengan alasan Gajah Mada mendirikan Candi Kertanegara di Singosari Malang. Pendapat ini tentu amat spekulatif, karena mendirikan Candi kan hal biasa yang dilakukan oleh pejabat tinggi yang berkuasa. Bahkan dia berteori bahwa wajah Gajah Mada mirip orang India, bukan seperti wajah “Orang Lamongan” seperti yang diyakini oleh Mohammad Yamin dan sampai kini dijadikan “pendapat umum”.

Teori yang lebih spekulatif dan asal-asalan malah mengatakan, bahwa Gajah Mada lahir di Sumatra, dengan alasan adanya binatang Gajah dan istilah “Mada” hanya ada di Sumatra. Tentunya pendapat ini sangat menggelikan, karena meskipun Gajah asli Sumatra, tapi kan Raja-raja Jawa dapat mendatangkan/membelinya, jadi Gajah bukan hal yang aneh di Jawa. Istilah “Mada” juga ada dalam kosakata Jawa.

Ada juga yang menyatakan, bahwa Gajah Mada lahir di Dompo, Sumbawa, karena di sana ada kuburan Gajah Mada. Tentunya soal kuburan bisa saja dibikin dan diperakukan. Atau mungkin juga Gajah Mada yang lain, yang bukan di zaman Majapahit, atau tokoh lokal yang kharisma kepemimpinannya mirip tindak tanduk Gajah Mada, meski skopnya tidak Internasional seperti Gajah Mada Majapahit.

Malahan ada juga teori yang menyatakan bahwa Gajah Mada orang Dayak di Kalimantan, karena di wilayah Dayak Krio ada tokoh bernama Jaga Mada yang diutus Demung Adat Kerajaan Kutai untuk menjelajah Nusantara. Namun teori ini dari segi logika hubungan dengan Majapahit sangat lemah. Mungkin juga dia adalah tokoh lokal yang dihormati oleh masyarakatnya setara dengan penghormatan terhadap Gajah Mada Majapahit.

Dan kemudian, ada juga teori yang menyatakan, bahwa Gajah Mada itu mungkin benar lahir di wilayah Pamotan-Lamongan, namun bukan anak Raden Wijaya sebagaimana disebutkan oleh folklor di Modo, akan tetapi lahir dari ibu yang dinikahi Pasukan Mongol yang melarikan diri dari induk pasukannya.

Teori ini agak lemah, karena menurut buku John Man, Pasukan Mongol yang ternyata bukan hanya dipimpin oleh Jendral-jendral Mongol, namun juga disertai oleh Kaisar Mongol sendiri, dibantai habis oleh Pasukan Raden Wijaya dan sisanya melarikan diri ke perahu di pelabuhan Ujung Galuh dan Tuban lalu segera pergi berlayar kembali ke Cina, sudah begitu di Cina mereka dibantai lagi oleh anak petani Cina yang sudah bosan dijajah Mongol lalu memberontak atas bantuan pasukan Majapahit dan kemudian merajakan diri, memerdekakan Cina dari penjajahan Mongol ratusan tahun.

Pendapat ini, menurut budayawan Irawan Djoko Nugroho, sangat sesuai dengan yang dikandung dalam kitab kuno “Tembang Harsawijaya” dan Prasasti Kertarajasa. Jadi, kalaupun ada sepuluh - tiga puluh orang pasukan Mongol yang mampu menyelamatkan diri lalu lari ke hutan, tentu butuh waktu berpuluh-berbelas tahun baru berani menampakkan diri keluar dari hutan, lalu berani menikahi wanita lokal. Hal itu persis seperti yang dilakukan oleh pelarian pasukan Jepang di zaman perang kemerdekaan Indonesia, dan baru berani muncul dari hutan ketika Indonesia sudah lama merdeka dan melupakan suasana peperangan. Padahal Gajah Mada lahir hanya setahun dua tahun dari peristiwa pembantaian Pasukan Mongol oleh Pasukan Majapahit. Maka, pasti ibunya tidak dinikahi oleh pasukan Mongol, melainkan oleh pemimpin pasukan Majapahit yang merayakan kemenangan,atau kalau merujuk ke folklor Modo, dinikahi (semacam nikah siri-lah--istilahnya) oleh Raden Wijaya sendiri, dalam rangka pesta perayaan kemenangan, karena pertempuran hebat menumpas Pasukan Mongol memang terjadi di wilayah Lamongan.

Namun di atas semua teori dan tafsir sejarah, hanya Allah Yang Maha Tahu, jadi manusia hanya bisa berteori berdasar alasan-alasan dan data-data yang masuk akal, namun tak berhak mengklaim yang paling benar, wallahu a’lam bissawab, wailaihil marji’ wal ma’ab !!!! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar