Rabu, 13 Maret 2013

10 N0VEMBER 1945

Pagi hari tanggal 9 November 1945 tiga pesawat bomber melayang-layang di atas langit Surabaya sambil menyebarkan pamflet berisi ultimatum yang ditandatangani Mayor Jenderal E.C.Mansergh, yang isinya:

Kepada semua Bangsa Indonesia di Surabaya!

Tanggal 9 November 1945 tiga pesawat bomber melayang-layang di atas langit Surabaya sambil menyebarkan pamflet ultimatum yang ditandatangani Mayor Jenderal E.C.Mansergh, yang isinya:

Kepada semua Bangsa Indonesia di Surabaya!

Pada tanggal 28 Oktober 1945, rakyat Indonesia di Surabaya secara tidak jujur sekonyong-konyong menyerang angkatan perang Inggris yang datang untuk melucuti dan mengumpulkan angkatan perang Jepang, memberi bantuan kepada tawanan perang sekutu dan interniran, dan menyelenggarakan keamanan dan ketertiban.

Dalam pertempuran yang berturut terjadi, maka banyak anggota kekuasaan Inggris menjadi korban, mati atau luka-luka; ada pula yang hilang. Perempuan dan anak-anak yang diinternir dibunuh secara kejam. Dan belakangan Brigadir Jenderal Mallaby dibunuh secara tidak jujur, yang pada waktu itu sedang berusaha memegang teguh persetujuan penghentian permusuhan yang telah dilanggar oleh pihak Indonesia tadi.

Kesalahan-kesalahan tersebut di atas tidak dapat dibiarkan begitu saja. Berdasarkan ini, saya mengeluarkan perintah yang harus dapat dilaksanakan. Selanjutnya pada tanggal 10 November 1945 Jam. 06.00 akan saya kerahkan semua kesatuan angkatan laut, darat dan udara di bawah komando saya untuk menundukkan orang-orang Indonesia yang mengabaikan perintah saya. Mereka bertanggung-jawab atas pertumpahan darah yang tak dapat dihindarkan
9 November 1945
Komando Angkatan Darat Sekutu Jawa Timur                                                                                                      ttd
E.C.Mansergh – Mayor Jenderal



Pamflet berisi ultimatum Mayor Jenderal E.C.Mansergh itu disusul Instruksi yang juga disebar dari pesawat terbang, yang isinya: (1) Pihak Indonesia harus menyerahkan semua tawanan pada tanggal 9 Novermber jam 18.00; (2)  Semua pimpinan Indonesia  harus melaporkan diri pada 9 November 1945 di Jalan Jakarta dengan membawa senjata yang diletakkan 100 yard dari tempat berkumpul untuk menandatangani perjanjian menyerah tanpa syarat; (3)  a.Bangsa Indonesia lain yang bersenjata harus melapor ke Westerbuiten Weg atau ke Darmo bouleverd dan Coen Bouleverd dengan mengibarkan bendera putih; (3) b. Yang diperkenankan membawa senjata hanya polisi berseragam dan TKR yang teratur; (4) tentara sekutu akan mengadakan pembersihan di dalam kota dan siapa yang diketahui menyimpan senjata akan dihukum mati; (5) Siapa yang mengaggu interniran sekutu akan dijatuhi hukuman mati; (6) para perempuan dan anak-anak Indonesia yang akan meninggalkan kota dibolehkan pada tanggal 9 November 1945 jam 19.00 terbatas pada jurusan Mojokerto dan Sidoarjo  lewat  jalan  besar.

Arek-arek Surabaya meraung marah membaca ultimatum dan instruksi E.C.Mansergh yang sangat merendahkan martabat Bangsa Indonesia. KH Hasyim Asy’ari yang saat itu berada di Surabaya, menyambut hinaan Mayor Jendera E.C.Mansergh itu dengan mengubah isi Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 menjadi lebih operasional, yaitu dari pernyataan resolusi berbunyi:

Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…”    menjadi “Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang  melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja..

Seruan jihad yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari pada 9 November 1945 itu dengan cepat menyebar ke berbagai daerah yang berjarak sekitar 94 km dari Surabaya seperti Mojokerto, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Jombang, Malang, dan bahkan ke daerah-daerah yang lebih jauh seperti Probolinggo, Jember, Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Rembang, bahkan Cirebon. Para kyai, santri, satuan-satuan dari barisan Hizbullah dan Sabilillah berbondong-bondong ke Surabaya, bergabung dengan pasukan TKR Kota Surabaya, PRI, BPRI, TKR Laut, TKR Pelajar, Polisi Istimewa, Barisan Buruh, dan warga Kota Surabaya untuk menyambut serangan umum pasukan Inggris di bawah Mayor Jenderal E.C.Mansergh pada 10 November 1945.

Oleh karena perang melawan kekuatan pasukan Inggris pada 10 November 1945 dilandasi semangat Jihad Fii Sabilillah, maka teriakan “Allahu Akbar!” sebagai penanda jihad dikumandangkan sejak peluru pertama meletus sampai tarikan nafas terakhir seorang pejuang kehilangan nyawa menjadi syuhada. Dan Inggris yang menduga Rakyat Surabaya akan tunduk menyerah dalam tempo tiga hari – setelah kota dibombardir dari darat, laut dan udara – terbukti harus bersimbah darah dan airmata karena sampai tiga bulan bertempur, kekuatan rakyat Indonesia yang dikobari semanbgat Jihad fii Sabilillah tidak kunjung menyerah. Dan Inggris pun menandai momentum bersejarah yang paling keras itu dengan sebaris kalimat: Once and Forever!

SURABAYA - Setiap 10 November, Kota Surabaya, Jawa Timur, selalu meriah dengan peringatan Hari Pahlawan. Peringatan perjuangan arek-arek Suroboyo dalam melawan sekutu bersama Belanda itu diupayakan digelar seheroik mungkin sehingga nuansa perjuangan terlihat jelas.

Tak hanya itu, sejumlah diskusi, refleksi, hingga orasi kebangsaan, ikut memeriahkan semarak Hari Pahlawan di kota berpenduduk sekira 3 juta jiwa itu.

Namun, di balik hingar bingar peringatan Hari Pahlawan ada sejumlah realitas sejarah yang belum terungkap. Bahkan, ada beberapa fakta yang juga masih menjadi perdebatan hingga saat ini.

Sejumlah fakta yang saat ini masih buram, di antaranya terbunuhnya Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby di Jembatan Merah, Surabaya.

Pertempuran di Surabaya itu merupakan perang terbesar pertama setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Pertempuran tersebut memakan korban jiwa hingga 16 ribu orang dari pihak Indonesia. Prajurit sekutu juga banyak yang tewas dalam pertempuran tersebut, termasuk Aubertin Mallaby. Namun, di tangan siapa pemilik nama asli Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby itu tewas, masih menjadi perdebatan hingga kini.

Tom Driberg, anggota parlemen Inggris dari Partai Buruh (Labour Party), meragukan baku tembak itu dimulai dari pihak Indonesia. Menurut dia, baku tembak itu disinyalir timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan Hindia pimpinan Mallaby. Alasannya, Mallaby dan pasukannya tidak mengetahui bahwa saat itu ada gencatan senjata. Komunikasi Mallaby terputus dengan pusat.

Dalam catatannya, Tom menyebutkan, ada 20 prajurit Hindia di sebuah bangunan di alun-alun yang tidak mendapat komunikasi sehingga tidak mengetahui soal gencatan senjata tersebut.

Mereka menembaki tentara Indonesua secara sporadis. Brigadir Mallaby pun ke arah kerumunan dan berteriak kepada serdadunya untuk menghentikan tembakan.

Setengah jam kemudian, massa di alun-alun menyerang. Brigadir Mallaby memerintahkan serdadu Hindia untuk menembak kembali. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan mesin hingga massa berlarian mencari perlindungan.

Setelah itu, pecah kembali pertempuran besar. Sekira 20 menit hingga 30 menit setelah Mallaby memerintahkan prajurinya kembali menembak, dia ditemukan tewas di mobilnya. Belum ada yang memastikan apakah dia dibunuh oleh prajurit Indonesia yang berhasil mendekati mobilnya atau tertembak serdadunya sendiri.

Ahli sejarah dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Aminudin Kasdi, mengakui masih ada perdebatan seputar pertempuran 10 November, termasuk terbunuhnya Mallaby di Jembatan Merah.

“Hingga saat ini, kami juga tidak tahu apakah Mallaby itu dibunuh oleh Arek-Arek Suroboyo atau terbunuh oleh anak buahnya sendiri karena peluru nyasar. Hingga saat ini masih menjadi perdebatan,” kata Aminudin, kepada Okezone.

Selain itu, ada sejumlah fakta lain yang belum terungkap, yakni perobekan bendera Merah Putih Biru di Hotel Yamato yang kini menjadi Hotel Majapahit.

Dalam peristiwan itu, kata Aminundin, ribuan orang datang dari arah Jalan Basuki Rahmat, Jalan Tunjungan, hingga ke Jalan Gubernur Suryo. Mereka datang karena di Hotel Yamato ada pengibaran bendera Belanda.

“Pengibaran bendera Belanda itu tanpa persetujuan Pemerintah RI dan membuat rakyat Indonesia marah. Sebab, muncul anggapan bahwa Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia,” katanya.

Hingga saat ini belum diketahui siapa yang menyobek warna biru itu. “Siapa yang menyobeknya kita juga enggak tahu. Karena ini sejarah, makanya diperlukan bukti tertulis dan otentik dan memang harus ditelusuri,” tukasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar